Lihat ke Halaman Asli

syarifuddin abdullah

TERVERIFIKASI

Penikmat Seni dan Perjalanan

Doa dan Memimpin Pembacaan Doa

Diperbarui: 27 April 2017   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di komunitas terbatas dan dalam berbagai kesempatan, saya kadang diminta atau malah biasanya tiba-tiba didaulat memimpin pembacaan doa, untuk pelbagai jenis acara: pengajian, nikahan, kumpul-kumpul kendurian untuk hajatan tertentu, atau dalam pertemuan seremonial, yang semi resmi ataupun yang resmi, semisal upacara 17 Agustusan atau Hari Kartini.

Dan setiap kali memimpin doa, selalu berupaya memaksimalkan semua potensi, agar doanya terdengar sekhidmat mungkin: kalimat narasi doanya (dalam bahasa Indonesia dan Arabnya) dibuat seefektif mungkin, titik-komanya diatur serapi mungkin; saat membacakannya, intonasi suara diatur sedemikian rupa sehingga terkesan keluar dari hati (sebagian menganggapnya khusyu’); lalu selalu ada satu paragraf (bagian) inti yang sesuai dan menohok langsung ke tema acaranya; dan tak kalah pentingnya adalah doanya didesain sesingkat-singkatnya.

Mengacu pada sedikit pengalaman memimpin pembacaan doa itu, saya mencatat beberapa "keanehan-keanehan", yang muncul dari jamaah mungkin akibat "pemahaman yang tidak utuh" tentang doa dan berdoa.

Pertama, setiap kali selesai berdoa, biasanya ada beberapa jamaah atau hadirin yang berkomentar begini: "Doanya bagus sekali, ustadz/Pak". Tentu saya berterima atas pujian itu: "Doanya bagus".

Lalu kemudian saya merenung: doa yang bagus itu kayak apa sih?

Sebab pemahaman yang benar tentang doa yang bagus adalah doa yang maqbul (diterima dan diijabah oleh Allah). Terlepas dari bagus-tidaknya narasi doanya. Artinya, komentar awal terhadap setiap doa mestinya adalah "Semoga maqbul (diterima dan diijabah)". Bukan "doanya bagus" dalam pengertian rumusan kalimat teks doa dan suara pendoanya yang bagus.

Kedua, untuk doa yang dibacakan di acara-acara resmi, ustadz pemimpin pembacaan doa biasanya akan diminta (dibisiki) oleh panitia agar membuat teks doa yang sependek-pendeknya, sesingkat-singkatnya. “Doanya gak usah panjang-panjang ustadz, ringkas, padat dan mengena”.

Memang tidak ada "aturan" bahwa doa mesti panjang atau sebaliknya harus pendek. Tapi sejujurnya, secara pribadi, saya biasanya juga agak merasa "gerah", bila ada ustadz yang membaca doa 15 sampai 30 menit dalam Bahasa Arab. Semua hal diminta, kadang ada konten doa yang berulang-ulang. Mungkin karena ustadnya hanya menghapal teks doanya, dan barangkali saja tidak terlalu paham Bahasa Arab.

Tapi doa dengan durasi 5 menit saya pikir sangat moderat dalam hal panjang-pendek. Namun, masih ada saja orang yang menganggap doa yang 5 menit itu masih terlalu panjang dan kelamaan. Belakangan, kalau giliran diminta memimpin doa, saya pastikan saja, doanya paling lama 3 menit.

Ketiga, meski ada beberapa orang yang kurang senang kalau doa kepanjangan, tapi sepertinya belum pernah terdengar ada jamaah yang memprotes ustadz yang sedang berdoa kelamaaan. Tidak ada misalnya jamaah yang memprotes dan berteriak begini: “Ustadz doanya dipendekin dan disingkat saja, ustadz!” He he he.

Keempat, doa yang sangat pendek sebenarnya bisa dibuat tidak lebih dari satu menit. Yakni membaca doa pamungkas yang terdiri dari tiga variabel utama: hamdalah (memuji Allah), membaca salawat kepada Nabi, dan menutupnya dengan doa "rabbana atina fiddunya hasanah wa fil-akhirati hasanah, wa qina adzabannar (Ya Allah, karunia kami kebaikan di dunia dan di akhirat, selamatkan kami dari siksa neraka”.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline