Lihat ke Halaman Asli

Ruby Astari

Penulis, penerjemah, pengajar Bahasa Inggris dan Indonesia, pembaca, dan pemikir kritis.

Tentang Baper

Diperbarui: 15 Januari 2017   23:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Jadi orang jangan suka baper.Biasa aja, dong!”

            Sering dicela kayak gitu sama orang lain? Jangan-jangan Anda sendiri juga tukang cela dan kalimat itu salah satu andalan Anda, entah beneran untuk kebaikan orang itu atau Anda hanya ingin mereka diam.

            Banyak serba-serbi baper(bawa perasaan).Ada yang menurut Anda wataknya memang cemen banget, sedikit-sedikit tersinggung. Baru dicela sedikit saja sudah mewek, kayak anak kecil kalah rebutan permen. Ada yang menganggapnya normal, karena namanya juga manusia. Kalau udah nggak punya perasaan lagi, namanya apa, dong?

            Hayo, memangnya Anda sendiri nggak pernah baper?Ngaku aja, deh. Nggak usah malu atau sok tegar segala, bahkan langsung mem-bullymereka yang Anda anggap baperan. Lagipula, tingkatannya juga beda-beda, sama kayak reaksi mereka. Ada yang memang bisanya hanya menangis, jadi tukang ngadu, hingga yang sedikit-sedikit update statusdi social media. (Yakin Anda nggak pernah melalui masa-masa ini?)

            Lalu, bagaimana sosok baperyang diam-diam membahayakan, alias menakutkan? Ada yang diam-diam langsung mendoakan kemalangan Anda karena dendam. Ada juga yang mencoba menyakiti Anda, bahkan secara langsung maupun tidak. Kalau dendam mereka terbalaskan, apakah Anda nggak akan kena giliran baper juga? Yakin?

            Saya selalu heran dengan mereka yang merasa bisa berucap seenaknya tanpa peduli bakalan menyakiti perasaan orang lain. Lucunya, giliran diperlakukan sama, mereka malah marah dan defensif. Lalu, kata-kata itu pun keluar dengan enaknya:

            “Jangan baper.

           Haha, standar ganda. Apalagi bila Anda kebetulan lebih tua dari mereka yang sering Anda cela-cela dan sepelekan. Enak banget, ya? Usia dipakai untuk alasan asal bicara, sementara yang lain lebih baik terima dan diam saja. Nggak berhak marah.

            Padahal, seharusnya Anda bersyukur bila mereka marah secara terang-terangan sama Anda, bukannya malah meremehkan dan menganggap perasaan mereka sama sekali nggak sepenting maunya Anda. Mengapa demikian?

  • Setidaknya mereka masih menganggap Anda berhak atas kejujuran mereka. Bayangkan amarah yang dipendam terlalu lama dan menumpuk, lalu suatu saat meledak saat mereka mengamuk. Akibatnya bisa jauh lebih parah daripada yang selama ini Anda asumsikan sebagai ‘kelewat baper’. Mau pilih yang mana?
  • Lebih baik Anda tahu segera bahwa mereka marah, daripada diam-diam mereka menyumpah-nyumpah. (Ada yang bilang, lebih gawat lagi bila sakit hati mereka terbawa hingga ke ‘akhirat’.Hiii...) Jadi, biar lain kali Anda lebih banyak berpikir dulu sebelum asal nyablak. Kedekatan Anda dengan mereka juga bukan jaminan mereka bisa Anda perlakukan seenaknya.
  • Bila mereka sampai berhenti baper,sebaiknya Anda waspada, karena artinya Anda sudah tidak berarti apa-apa lagi bagi mereka. Kalau mereka memang sedari awal tidak begitu penting bagi Anda, ya sudah.

Sebelum menuduh mereka atau orang lain ‘kelewat baper’,bagaimana kalau Anda berkaca dulu? Yakin Anda sendiri nggak pernah begitu? Jangan-jangan, selama ini Anda merasa hanya Anda-lah yang berhak untuk baper.

R.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline