Lihat ke Halaman Asli

ROCHADI TAWAF

Konsultan bidang peternakan

Farming Sistem vs Sistem Agribisnis

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pernyataan mantan Menteri Pertanian Suswono, dipenghujung  berakhir masa jabatannya di kabinet Indonesia bersatu, beberapa waktu lalu  sangat menarik untuk disimak. Beliau menyatakan bahwa kegagalan swasembada daging sapi, karena kesalahan hitung. Menurut hemat penulis, ‘kesalahan hitung’ yang dimaksud Suswono merupakan manivestasi dari kontroversi yang terjadi antara ‘farming sistem versus sistem agribisnis’ yang sejak lama menjadi perdebatan dalam implementasinya di negeri ini. Pasalnya, apakah kita akan mengembangkan farming sistem yang lebih dikenal dengan istilah usahaternak rakyat/peternakan rakyat ataukah perusahaan peternakan  yang menganut konsep sistem agribisnis dalam membangun pertanian/peternakan? Seperti diketahui bahwa, kondisi pertanian di negeri ini khususnya peternakan sapi dan kerbau yang sebagian besar atau lebih dari 90% merupakan usahatani rakyat dikelola secara tradisional turun temurun. Para peternak, beranggapan bahwa ternak merupakan asset hidup atau ‘livestock’ yang akan dimanfaatkan manakala mereka membutuhkan-nya. Artinya, asset tersebut lebih merupakan sosial asset ketimbang asset dalam arti ekonomi. Sehingga, menurut Atmadilaga (1975) bahwa peternakan rakyat tumbuh dan berkembang  dalam kondisi tidak menapak diatas lahan usahataninya atau ‘flying herd’. Pernyataan ini mempertegas, bahwa kondisi peternakan rakyat hidup dan berkembang dalam keadaan tidak mengikuti hukum ekonomi. Usaha mereka, lebih bersifat memanfaatkan limbah pertanian untuk pakan karena ketiadaan lahan usaha, tenaga kerja yang digunakan pun tidak dihitung bahkan investasi kandang diperoleh dari yang ada disekitar rumah mereka. Sedangkan menurut Soehadji (1995) peternakan rakyat dicirikan oleh skala usahanya yang kecil, cara usahanya menggunakan teknologi sederhana (tradisional), dengan corak usaha masih bersifat sambilan  dan  produknya berkualitas rendah. Dari realita tersebut, pendekatan yang dapat dilakukan dalam  membangun peternak rakyat, tentunya adalah pendekatan ‘farming system’.

Dalam konsep farming system, analisis ekonomi mikro yang disertai analisis sosio budaya paling sering digunakan oleh para ahli untuk menganalisis usahatani peternakan rakyat. Dalam pendekatan ini, petani atau peternak dipandang sebagai pengambil keputusan yang menentukan besarnya input produksi, misalnya tenaga kerja, bibit, pupuk dan input lain yang tidak dibeli.

Sementara itu, berbagai pendapat menyatakan bahwa inovasi teknologi pertanian akan membantu petani peternak dalam meningkatkan produktivitas kegiatan usahataninya. Jika inovasi ini secara intensif dilakukan oleh pemerintah, sehingga kondisi usahatani peternakan rakyat berubah menjadi berorientasi ekonomi, niscahya tidak akan ada satu pun usaha peternakan rakyat yang menguntungkan. Artinya kegiatan usaha pada peternakan rakyat akan terjadi perubahan, yaitu skala usahanya akan meningkat menjadi skala usaha yang ekonomis. Sedangkan bagi usaha peternakan yang tidak ekonomis atau tidak mampu melakukan perubahan, mereka akan bangkrut atau menutup kegiatan usahataninya. Banyak contoh perubahan seperti ini terjadi di pelbagai negara, dimana populasi ternak meningkat sementara jumlah peternaknya semakin menurun secara signifikan.

Disisi lain, cepatnya proses pembangunan nasional menuntut ketersediaan pangan asal ternak yang didisain atas dasar konsep yang masif. Artinya, produksi nasional harus dapat diramal dengan baik dan terarah. Selama ini, penulis mengamati bahwa analisis pembangunan peternakan, khususnya swasembada daging sapi telah didisain dengan pendekatan ‘sistem agribisnis’. Hal ini dicirikan, dengan cara berpikirnya ‘linier’ dan   perencanaannya layak digunakan bagi usaha yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Analisisnya tidak memperhitungkan berbagai aspek ‘sosio budaya’ yang sangat kental dalam kehidupan peternak diperdesaan.

Sebagai mana diketahui pula bahwa sistem agribisnis sejak kelahirannya di tahun 1950an di Amerika Serikat ditujukan bagi pengembangan perusahaan pertanian. Sistem ini akan berjalan dengan baik, jika berbagai kelembagaan yang terlibat telah berorientasi ekonomi. Tanpa hal tersebut, sistem agribisnis tidak akan berjalan dengan baik. Disinilah sebenarnya inti masalah berkaitan dengan pembangunan peternakan di negeri ini yang berbasis sistem agribisnis. Pasalnya, jika saja konsep ini diterapkan ditengah-tengah usaha peternakan rakyat yang belum berorientasi ekonomi, niscahya hasilnya menjadi tidak optimal. Hal tersebut dibuktikan bahwa program swasembada daging sapi yang dicanangkan sejak tahun 1995, ternyata hingga kini tidak dapat terealisir.

Sesungguhnya ada metode pendekatan yang menurut hemat penulis, cukup baik untuk diterapkan dalam menyusun konsep swasembada daging sapi.  Karena kita ketahui bersama bahwa program swasembada daging sapi, banyak dipengaruhi oleh berbagai variabel yang sangat menentukan tingkat keberhasilannya. Metode analisis yang dimaksud adalah ‘sistem dinamic’ atau metode dinamika sistem yang  mampu melakukan analisis secara komprehensif terhadap berbagai variabel yang terlibat. Analisis dengan metode ‘dinamika sistem’ pada konsep swasembada daging sapi karena dapat mengungkap hubungan sebab-akibat (causal) dalam menyusun suatu model yang kompleks. Hubungan kausalitas ini sebagai dasar dalam mengenali dan memahami tingkah laku dinamis sistem tersebut. Artinya, kecocokan model ini lebih baik ketimbang menggunakan analisis sistem agribisnis yang bersifat linier dengan pola pikir matematis, tanpa memperhatikan aspek sosio budaya.

Namun demikian, prinsip GIGO (garbage in garbage out) harus merupakan landasan dasar sebagai ‘catatan khusus’ yang dianut dalam menggunakan berbagai alat analisis. Secanggih apapun alat analisis yang digunakan, sepanjang pola pikirnya tidak tidak terstruktur dan data statistik nya tidak akuntabel, maka akurasi hasil analisisnya pun diragukan. Oleh karenanya, tugas pemerintahan Jokowi saat ini di sektor pertanian yang pertama dan utama adalah membenahi data statistik yang amburadul. Katakanlah bahwa kegagalan swasembada di sektor pertanian beberapa waktu lalu, kontribusi terbesarnya adalah faktor data yang tidak akuntabel.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline