Lihat ke Halaman Asli

Roman Rendusara

TERVERIFIKASI

Memaknai yang Tercecer

Di Sebuah Puskesmas Kota

Diperbarui: 30 September 2016   12:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah Puskesmas Kota siang itu lengah. Tidak terlihat pasien mengantri seperti biasanya. Beberapa petugas berseragam putih ramai di ruang tunggu. Mereka asyik bercerita. Satu dua orang sambil mengutak-utik, dan melentik lincah jari pada layar handponenya. Makhlum jarum jam hampir menunjuk angka 12 siang.

“Pak, datangnya dari pagi. Jam begini kami mau evaluasi”, cegah seorang petugas bagian registrasi ketika saya mendekat dan mengutarakan tujuan. Rautnya mengusam sejalan pipinya yang hitam bekas tumor jinak. Ia tak cukup cantik apalagi manis. Senyum tak semurah permen karet, didukung postur tak sesuai porsi, namun kerudung hijau yang dipakainya membuat saya yakin; hatinya tak segalak wajah.

Saya membalasnya dengan seutas senyum, ‘tuk menutup rasa bersalah yang berkarung-karung dalam hati. Iya, mestinya saya paham kelelahan mereka. Jam segini adalah waktu kantuk dan lapar sedang menyerang raga. Saya tak berkutik, dan diam. Selanjutnya harus mengikuti apa kata mereka. Berharap, asal jangan menyuruh saya agar esok hari baru mengurus surat keterangan itu.

Seorang petugas, juga perempuan berpakaian putih – putih, tanpa kerudung mendekat, setelah cukup puas memperhatikan saya bertingkah serba salah dan kikuk. Ia meraih buku tebal bergaris folio. Saya perhatikan ia menulis nomor registrasi dan tanggal. Lalu menanyakan nama dan usia saya, serta tujuan mengurus surat keterangan sehat dari dokter.

“Maaf, pak, dokternya lagi periksa pasien. Mohon tunggu sedikit”, kata petugas tanpa kerudung itu, sambil tangan mengarahkan saya ke sebuah kursi kosong, di depan meja dokter. Saya memanggut dan menurut.

“Tunggu di sini ya”, katanya lagi.

Saya tak menunggu sangat lama, beberapa menit kemudian saja dokter datang. Dokter cantik itu menanyakan alamat tempat tinggal saya. Saya lupa nomor RT/RW tempat saya tinggal. Saya akui, bukan penduduk yang baik jika lupa alamat RT/RW. Dokter pun menanyakan tujuan saya mendapatkan sepotong kertas, menyatakan saya sehat itu.

Selesai urusan dengan dokter, saya diarahkan ke bagian administrasi, untuk membayar biaya administrasi. Tak lupa surat itu dicantumkan nomor surat pada sebuah buku agenda surat keluar.

Urusan selesai. Saya sudah mendapatkan surat keterangan sehat. Saya senang urusan surat keterangan kesehatan tak serumit yang dibayangkan.

***

“Pak, pak, tunggu!”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline