Lihat ke Halaman Asli

Rolly Toreh

Merenung seperti gunung, bergerak seperti ombak

Kuatnya Berahi Korupsi Penegak Hukum

Diperbarui: 10 Desember 2019   14:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Namanya saja 'berahi', yang konon seperti ada gairah yang tak kunjung selesai atau dengan secuil nafsu membungkam, menguasai, dan menikmati. Berahi tidak hanya identik dengan humanisme tapi sekarang cenderung mencangkok apa saja. Cara cangkok pun acapkali terstruktur, masif, dan terencana. Bukan cuma pada tanaman, cangkok itu berhasil, tapi bagi semua manusia cangkok itu pun tidak hanya melulu pada ginjal, tapi soal kekinian tentang uang, jabatan, perusahaan, keluarga, kolega, sampai garis keturunan. Hampir semua tercekat korupsi. Bersandiwara seolah-olah tidak berahi pada korupsi, namun lama kelamaan terbongkar skandal mega korupsi.

Kodrat manusia memang terbatas, karena jelas masih menduduki dunia. Ditengah keterbatasan itu, rupanya manusia tidak sadar dengan keterbatasan sehingga masih ada juga yang culas, bablas dan sewenang-wenang, terhadap manusia lain, alam, dan binatang sekitar. Ketidaksadaran itu ada yang sengaja dibuat-buat, ada pula yang telanjur lupa kodratnya, ada juga juga yang terpaksa berdusta demi mencapai tujuannya. Dan disitulah klimaksnya ketika manusia menancapkan tujuan hidupnya, kerohanian manusia diuji, dan sebaliknya 'kesetanan' manusia berperan menggodanya dan manusia lainnya agar dapat meraih tujuan batiniah dan lahiriah dengan cara yang tidak akali, amoral, improsedural, dan ilegal. Meraihnya pun harus dengan niat, tekad, dan ambisi. Maka optimisme sebaiknya memenangkan pertempuran menggapai tujuan, daripada pesimisme yang hanya berujung pada kehancuran atau kesusahan.

Godaan menjadi parameter integritas seseorang. Di tempat antara sadar dan tidak sadar, godaan mengorupsi bermukim pada setiap orang, tak terkecuali yang punya kuasa maupun yang tidak berkuasa. Berahi muncul karena tergoda. Mengapa demikian? Karena saat godaan negatif muncul, maka berahinya akan mendorong seseorang berniat mengaktualisasikan kehendak koruptif asalkan sesuai harapannya. Atau, sebaliknya seseorang tidak memiliki hasrat untuk meladeni godaan negatif tersebut karena lambat laun akan mempengaruhi nilai integritasnya semakin melorot dan mengenaskan.

Sesuai kepercayaan yang kita anut, tiada yang lain yang berkuasa selain Tuhan. Agama manapun memosisikan Tuhan di atas segalanya. Karena Tuhan yang menciptakan, juga Tuhan yang membaharukan. Dialah yang Awal dan yang Akhir. Yang secara normatif religi adalah Tuhan di atas segalanya. Sedangkan secara normatif duniawi adalah manusia di atas segalanya yang diberi kuasa dari Tuhan untuk berkuasa memelihara, mengelola secara baik dan benar semua alam, lingkungan, flora, fauna, dan hewan lainnya. Namun, di dunia ini, sesungguhnya manusia ternyata tidak bisa lepas dari kuasa lainnya yaitu Uang dan Tahta. Padahal semuanya dapat berujung pada kemanfaatan jika dipelihara dan dikelola dengan baik dan benar. Sayangnya, manusia selalu tergoda oleh Uang dan Tahta sehingga memberi peluang dan kesempatan bagi setiap orang untuk korupsi, dan membuat korupsi berkembang biak di tubuh Penegak Hukum.

Di semua negara, hukum diletakkan pada posisi tertinggi bernegara. Contohnya, negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) bukan kekuasaan belaka (Machstaat). Itu jelas. Tetapi bagaimana jadinya jika berahi korupsi itu menjangkiti penegak hukum? Justru hukum pastinya dipermainkan, ditendang kesana kemari, dan dikibuli dengan segala macam dalil anomali penegaknya. Institusi hukum jadi korban permainan kejahatan penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, Advokat), dan mendorong masyarakat menomorduakan hukum dengan cara memilih hukum rimba (Lawless).

Rakyat menganggap kesalahan yang dibuat hari ini dapat dilanjutkan lagi diwaktu yang lain, karena aparat penegak hukum bisa 'disuap'. Korupsi hari ini bisa dilanjutkan di lain hari asalkan cukup uang. Sehingga, keadilan jadi pincang karena putusan hakim gampang dibeli. Termasuk Jaksa, Polisi, Advokat, bertekuk lutut pada suap. Disitulah Tersangka atau terdakwa seenaknya saja mempermainkan hukum dan menjadikannya sandiwara didepan rakyat banyak. Sandiwara yang mempertontonkan uang berkuasa melebihi Tuhan, maka suap saja pun terjadi berulang di satu pengadilan yang sama. Janggal dan anomali. Di pengadilan tempat rakyat mencari dan berharap adanya keadilan, justru ketidakadilan lebih kentara berakar di pengadilan. Oleh karena itu kejahatan korupsi penegak hukum membuat hukum semakin terancam.

HAKIM
Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tahun 2016, KPK menangkap dua (2) Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bengkulu, Janner Purba dan Toton, kasus suap Rp. 650 juta untuk memberi putusan bebas atas perkara yang mereka tangani. Setahun kemudian, 6 September 2017, KPK juga menangkap hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bengkulu, Dewi Suryana, bersama Panitera Pengganti Hendra Kurniawan sebagai perantara suap Rp. 125 juta atas perkara korupsi dana rutin Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Bengkulu tahun 2013-2014.

Ditahun yang sama (2017), dalam operasi tangkap tangan (OTT), KPK menangkap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar, dengan barang bukti berupa lebih dari 10 ribu USD dan Rp. 4 juta, disuap terkait Uji Materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang diberikan pengusaha importir daging sapi, Basuki Hariman.

Ditahun yang sama (2017), KPK menangkap Panitera Pengganti di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tarmizi, dan kemudian divonis hakim 12 Maret 2017, empat (4) tahun penjara, dan terbukti menerima suap Rp. 425 juta untuk mempengaruhi hakim, atas kasus perdata dua (2) perusahaan. Di Pengadilan Negeri Tangerang, KPK menangkap hakim dan panitera yang menerima suap untuk mempengaruhi putusan hakim Tuti Atika. Di Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara, KPK menangkap Ketua Pengadilan Tinggi Sulut, Sudiwardono, tanggal 6 Oktober 2017, atas kasus suap.

Sampai dengan Maret 2018, KPK sudah menangkap Hakim sebanyak 17 orang, dan Panitera Pengganti 9 orang.

JAKSA
Demikian pula, Jaksa, yang terlindas perkara korupsi, menurut data KPK, ada 5 orang. Yang pertama, jaksa Urip Tri Gunawan (Kejagung), terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus suap 660 ribu USD (setara Rp. 6 miliar) dari Artalyta Suryani, pada tanggal 2 Maret 2008. Urisp juga menerima suap dari mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glen Yusuf melalui pengacara Reno Iskandarsyah, Rp. 1 miliar. Tanggal 4 September 2008, Urip divonis 20 tahun penjara oleh hakim Tipikor Jakarta. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline