Sejarah bukan sekadar lembaran masa lalu yang usang. Ia adalah cermin---yang bila kita tatap dengan jujur, bisa menunjukkan ke mana arah bangsa ini melangkah. Atau justru mengingatkan bahwa luka lama bisa terulang, bila tidak pernah benar-benar disembuhkan.Selama ini, politik sering terasa seperti panggung yang jauh dari kehidupan sehari-hari---diperbincangkan oleh elit di layar kaca, diperdebatkan di ruang-ruang rapat. Namun sejarah Indonesia mengajarkan kita bahwa sistem otoriter tidak hanya hidup di gedung-gedung kekuasaan, tapi juga menyusup ke dapur-dapur rakyat biasa.
Bahan pangan dijatah, harga dikendalikan dari atas, dan pasar---yang biasanya riuh---mendadak sunyi. Bukan karena damai, tapi karena takut. Takut salah bicara. Takut bersuara. Kebijakan yang timpang ternyata bisa dirasakan hingga ke isi piring sehari-hari.
Mengenali jejak politik masa lalu bukan sekadar mengenang. Ini adalah upaya melihat akar kekerasan simbolik, pembungkaman, dan manipulasi wacana yang---jika tak diwaspadai---bisa mengancam generasi baru. Melek sejarah adalah bentuk kasih sayang kita, agar anak-anak kelak tumbuh di tanah yang lebih sehat---secara nurani dan nalar.
Masih ingat ketika kita diwajibkan menghafal nama-nama presiden dan semboyan pembangunan sejak SD? Atau mengapa berita di televisi selalu tampil cerah, penuh senyum, tanpa cela?
Rezim masa lalu sangat paham kekuatan narasi. Melalui kurikulum sekolah, siaran TVRI, hingga gerakan ibu-ibu PKK, cara berpikir masyarakat dibentuk secara perlahan, namun sistematis. Propaganda tidak selalu datang dalam bentuk teriakan. Kadang ia menyelinap halus---lewat lagu anak-anak, buku pelajaran, bahkan dongeng sebelum tidur.
Lalu apa yang terjadi jika sejarah diabaikan? Ia akan kembali. Mungkin dalam bentuk yang berbeda. Lebih canggih. Lebih diam. Tapi sama berbahayanya.
Setiap warga punya peran sebagai penjaga kesadaran. Bahwa kekuasaan butuh kontrol. Bahwa kritik adalah bentuk cinta, bukan ancaman. Karena kita tahu, dunia tempat anak-anak kita tumbuh bukan ditentukan esok hari---melainkan dibentuk hari ini.
Dan pada akhirnya, sejarah bukan sekadar masa lalu. Ia adalah arah pulang---ke nurani yang merdeka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI