Lihat ke Halaman Asli

Kapan Kaidah Yurisprudensi Dikalahkan dan Kaidah Undang-undang Mutlak Diunggulkan?

Diperbarui: 17 Mei 2021   11:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pertentangan antara yurisprudensi dan undang-undang dalam common law System berlaku prinsip law is prevail yakni undang-undang yang menang. Prinsip itu secara teoretis lebih kuat dan lebih besar bobotnya. Prinsip tersebut hanya dijadikan patokan umum atau sebuah landasan ketertiban umum. Namun secara kasuistik hakim bisa menyimpang secara prinsip memenangkan statute law apabila dalam kenyataannya undang" yang bersangkutan mengancam perlindungan ataupun ketertiban umum. 

Dalam Statue Law System, hukum tata negara sudah menempatkan legislative power yang menjadikan sebagai satu-satunya yang memiliki wewenang mencipta hukum secara formil. Alat kekuasaan negara yang lain tidak memiliki wewenang mencipta hukum secara formil. Alat kekuasaan negara yang lain tidak memiliki kewenangan untuk itu.

Bahkan dalam negara yang menganut Statue Law System, secara teoretis tidak mungkin lahir dan diakui yurisprudensi, karena pada hakikatnya tidak ada ruang gerak bagi pengadilan untuk bertindak sebagai Judge Made Law. Hakim tidak berwenang menafsir dan mencari asas-asas hukum, tetapi ruang geraknya terbatas mengucapkan dan menerapkan rumusan undang-undang saja. Akan tetapi keadaan sudah berubah, dan berkembang ke arah melepaskan belenggu keterbatasan kewenangan hakim. Pada saat sekarang tidak ditemukan lagi kehidupan mutlak Statue Law System yang menempatkan hakim sebagai "penafsir hukum". Di indonesia misalnya, meskipun di tinjau dari segi hukum tata negara kita lebih cenderung menganut Statute Law Sytem, terbuka selebar-lebarnya kebebasan bagi hakim untuk melakukan interpretasi dan mencari asas-asas hukum sesuai dengan perkembangan kesadaran masyarakat.

Kemudian jika ada pertentangan antara yurisprudensi dan undang-undang dalam statute law system itu jelas yang diunggulkan adalah peraturan perundang-undangan karena pada dasarnya peraturan perundang-undangan yang memiliki legitimasi formil  berdasar dalam ketatanegaraan. Sikap atau tindakan yang utama menghadapi pertentangan antara yurisprudensi dengan undang-undang, sedapat mungkin dipegangi kaidah: Yurisprudensi menundukkan diri kepada undang-undang yang berlaku. 

Jadi, undang-undang lebih diunggulkan dari yurisprudensi atau "Statue Law Prevail". Alasannya dalam negara yang menganut Statue Law System, pada dasarnya hanya peraturan perundang-undangan yang memiliki legitimasi formil berdasar dalam ketatanegaraan. Contoh kasus Dalam Pasal 40 KHI : melarang perkawinan beda agama namun dalam Putusan MA tgl 20 januari 1989 membolehkan perkawinan beda agama dan membolehkan kepada pencatatat perkawinan di DKI jakarta supaya melangsungkan perkawinan beda agama.

Dalam hal-hal tertentu secara kasuistik yurisprudensi dimenangkan dalam pertententangan antara yurisprudensi dengan undang-undang. Tentu mekanisme yang ditempuh oleh hakim dalam memenangkan yurisprudensi dilakukan melalui beberapa pendekatan didasarkan pada alasan kepatutan dan kepentingan umum dalam hal ini hakim harus menguji dan menganalisis secara cermat bahwa nilai hukum yang terkandung dalam yurisprudensi yang bersangkutan jauh potensial dan berbobot kepatutan dan perlindungan kepentingan umumnya dibandingkan dengan nilai yang terdapat dalam rumusan perundang-undangan.

Oleh karena itu, meskipun dalam kenyataan praktik diakui peran dan kewenangan badan-badan peradilan untuk bertindak sebagai "Judge Made Law" yang mencipta lahirnya yurisprudensi sebagai salah satu sumber, memang dilihat dari sudut teori ilmu hukum secara hierarkis tetap ditempatkan pada urutan di bawah perundang-undangan. 

Jadi jelas bahwa baik dari sudut ketatanegaraan maupun doktrin ilmu hukum, kedudukan formil undang-undang lebih unggul dari yurisprudensi. Fakta dan pandangan sudut hierarkis ini, mengharuskan hakim untuk mendahulukan penerapan undang-unang dari yurisprudensi. Apabila dijumpai nilai hukum antara keduanya saling bertentangan, maka hakim mesti menegakkan asas undang-undang dimenangkan dari yurisprudensi.

Kita ambil pertentangan antara yurisprudensi mengenai "vervrending verbod" atas dasar St. 1875 No. 179 maupun atas alasan melindungi rakyat kecil dari perlucutan tanah kelompok ekonomi lemah berhadapan dengan "asas nasionalitas" hukum pertanahan yang diatur dalam Pasal 9 UUPA No. 5 Tahun 1960. Untuk lebih jelas kita ambil salah satu putusan tentang yurisprudensi yang berkenaan dengan "vervrending verbod" yakni putusan MA 11-3-1959 No. 334 K/Sip/1958 atau Putusan MA 24-9-1958, No.188 K/Sip/1957. Menurut putusan-putusan dimaksud, dilarang jual beli tanah (pelepasan hak atas tanah) oleh penduduk pribumi kepada penduduk asing (luar pribumi). Putusan yang berisi larangan ini, telah mencipta yurisprudensi sejak dahulu yang berisi kaidah hukum "jual beli tanah adat oleh penduduk pribumi kepada penduduk asing (non pribumi), tidak sah dan batal demi hukum". Tujuannya, agar tidak terjadi pelucutan atau "deposse-dering" tanah rakyat kecil ditelan oleh golongan penduduk yang kaya. Dengan demikian, larangan itu diharapkan sebagai katup penyelamat rakyat ekonomi lemah dari kehancuran.

Nasib yurisprudensi tersebut sejak berlakunya UUPA No.5 Tahun 1960 terkubur demi tegaknya asas Statue Law Prevails. Yurisprudensi tersebut bertentangan dengan "asas nasionalitas" hukum pertanahan yang diatur dalam Pasal 19 UUPA. Berdasar asa nasionalitas pertanahan, hukum tidak membedakan lagi antara golongan penduduk asli (pribumi) dengan non pribumi. Asas nasionalitas telah mengahapus batas-batas diskriminasi etnis dan ekonomis dalam hukum pertanahan. 

Setiap warga negara sama hak dan kedudukannya untuk memperoleh hak atas tanah. Dan ternyata asas nasionalitas oleh hakim dianggap lebih unggul daripada motivasi melindungi rakyat kecil dan ekonomi lemah yang terkandung dalam yurisprudensi. Padahal jika dikaji dan direnungkan lebih dalam, sepatutnya ketentuan Pasal 9 UUPA yang layak menundukkan diri kepada yurisprudensi "vervrending verbod". Ketidaksadaran itu semakin lenyap dari sanubari para hakim, disebabkan gencarnya kelompok yang kaya melancarkan kampanye asas nasionalitas hukum pertanahan baik melalui tulisan-tulisan ilmiah, buku-buku atau forum seminar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline