Ada masa di mana ekonomi bukan sekadar angka dan grafik, melainkan soal arah bangsa. Kita hidup di zaman yang menuntut kecepatan, tetapi juga menuntut keteguhan pada prinsip. Di tengah hiruk pikuk globalisasi dan perdebatan tentang peran negara, saya sering teringat dua sosok yang jarang disandingkan, namun sesungguhnya memiliki napas pemikiran yang sama: Soemitro Djojohadikusumo dan Zhou Enlai.
Keduanya hidup di abad ke-20, di tengah pergulatan ideologi besar dunia—kapitalisme, sosialisme, dan nasionalisme. Namun mereka menolak untuk terjebak di antara label. Bagi mereka, ekonomi bukan soal kiri atau kanan, tetapi tentang bagaimana sebuah bangsa mengatur nasibnya sendiri. Dan di situlah, menurut saya, relevansi keduanya menjadi luar biasa penting untuk kita baca kembali hari ini.
Dalam sejarah ekonomi Asia pascakolonial, ada dua nama yang jarang disandingkan tetapi sesungguhnya memiliki denyut nadi yang sama: Soemitro Djojohadikusumo di Indonesia dan Zhou Enlai di Tiongkok. Keduanya lahir dari zaman yang penuh gejolak, di mana bangsa-bangsa baru harus memilih antara dogma ideologi dan realitas kebutuhan rakyat. Dari Jakarta hingga Beijing, dari kampus dan parlemen hingga ruang rapat kabinet, keduanya menulis kisah yang mirip, tentang bagaimana negara seharusnya hadir dalam ekonomi, bukan sebagai penguasa absolut, melainkan sebagai pengarah rasional bagi kemajuan.
Soemitro Djojohadikusumo tumbuh sebagai intelektual ekonomi di tengah atmosfer kolonial yang baru saja runtuh. Pendidikan tingginya di Belanda memberinya landasan kuat dalam teori ekonomi klasik dan Keynesian, tetapi pengalamannya di tanah air membuatnya sadar bahwa teori-teori Barat tidak cukup untuk membangun bangsa muda yang baru merdeka. Ia lalu menggagas konsep ekonomi campuran; suatu bentuk sintesis antara mekanisme pasar dan intervensi negara.
Bagi Soemitro, pasar adalah mesin pertumbuhan, tetapi negara adalah kemudi yang menentukan arah. Tanpa kemudi, kapal ekonomi Indonesia bisa hanyut di arus kapital asing atau oligarki domestik. Karena itu, ia mendorong berdirinya lembaga-lembaga perencana seperti Bappenas dan memperkenalkan pendekatan perencanaan indikatif (indicative planning): negara menetapkan arah pembangunan, sementara sektor swasta diberi ruang untuk berperan dalam kerangka tersebut.
Keterangan Gambar: Zhou Enlai saat muda. (Sumber: Wikipedia)
Di Beijing, Zhou Enlai menghadapi tantangan berbeda. Sebagai perdana menteri pertama Republik Rakyat Tiongkok, ia harus menjalankan roda pemerintahan dalam bayang-bayang revolusi dan ideologi komunis. Namun Zhou bukan ideolog buta. Di tengah tekanan Mao Zedong dan partai, ia mempraktikkan sosialisme rasional: mengakui peran negara secara dominan, tetapi memberi ruang bagi rasionalitas ekonomi dan fleksibilitas kebijakan.
Zhou memahami bahwa ekonomi tidak bisa berjalan di atas semangat saja. Ia membangun sistem perencanaan terpusat yang lentur, di mana negara menguasai alat produksi strategis tetapi daerah diberi otonomi terbatas untuk berinovasi. Pada awal 1970-an, Zhou mulai membuka hubungan diplomatik dan ekonomi dengan dunia Barat, langkah berani yang melahirkan modernisasi teknologi dan menjadi fondasi reformasi ekonomi di masa Deng Xiaoping.
Baik Soemitro maupun Zhou berangkat dari kesadaran yang sama: pasar bebas tidak otomatis menciptakan keadilan, tetapi ekonomi tertutup juga tak menjamin kesejahteraan. Karena itu, keduanya memosisikan negara sebagai pengarah, bukan penguasa. Negara harus memimpin proses industrialisasi, menata struktur produksi, dan mengatur distribusi modal tanpa membunuh kreativitas ekonomi masyarakat.
Keduanya percaya bahwa pembangunan bukanlah hasil spontanitas pasar, melainkan proses rekayasa sosial-ekonomi yang memerlukan visi dan kontrol. Dalam bahasa ekonomi modern, mereka adalah pelopor developmental state di Asia, konsep yang kemudian mengilhami Jepang, Korea Selatan, dan Singapura.