Lihat ke Halaman Asli

Rina Darma

Ibu Rumah Tangga

Ketika Suami-Istri Beda Hari Pertama Puasa?

Diperbarui: 2 April 2022   05:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca Novel Kambing dan Hujan (Koleksi pribadi)

Tahun 1443 Hijriah ini, lagi, beda hari pertama berpuasa Ramadhan. Sebenarnya, perbedaan itu setiap tahun ada. Namun, semua menjadi luar biasa jika yang berbeda dengan pemerintah itu ada di antaranya dijalankan oleh organisasi Islam dengan massa yang besar, sebut Muhammadiyah.

Sebelumnya, berbicara ketidaksamaan ini mengingatkanku pada Novel "Kambing dan Hujan" karya Mahfud Ikhwan. Novel yang memenangkan Sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2014 ini secara garis besar berkisah tentang hal klasik namun selalu menarik antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Kenapa jadi membawa NU, karena biasanya NU senada dengan pemerintah dalam menjalankan awal puasa Ramadhan.

Diceritakan, seorang pemuda Muhammadiyah dan muslimah NU saling menaruh rasa. Namun, kebuncahan tersebut terganjal karena perbedaan pandangan dan restu orang tua. Masing-masing orang tua dituturkan merupakan orang yang berpengaruh di organisasi tersebut. Masalah semakin pelik ketika mereka berjumpa dengan hari Lebaran yang tidak berbarengan.

Kalau, Kalian memang ingin mengenal kedua organisasi ini lebih dalam dan "tanpa menghakimi", aku sangat merekomendasikan buku terbitan Bentang Pustaka ini. Kalian harus meninggalkan terlebih dahulu "identitas" apabila memang kebetulan menjadi pengikut salah satu organisasi Islam dengan basis massa terbesar di Indonesia tersebut. Semata-mata agar bisa melihat dengan obyektif.

"Novel yang menarik dan mengalir, enak dibaca" --Ahmad Syafii Maarif, tokoh Muhammadiyah.

Lalu, sebenarnya, aku suka novel ini, karena memang berhubungan sama aku. Aku condong ke Muhammadiyah dan suamiku cenderung ke NU. Bedanya, kedua orang tua kami bukan orang berpengaruh di organisasi tersebut. Latar belakang pendidikan-lah yang membuat kami secara otomatis menganggap diri kami bagian dari organisasi tersebut.

Aku, enam tahun menempuh pendidikan menengah di Muhammadiyah. Suami, enam tahun menimba ilmu di pondok pesantren dibawah NU. Kemudian kami sama-sama masuk universitas negeri, walau tidak sama perguruan tinggi-nya. Dia di Bandung, aku di kota pelajar.

Lantas usai menikah, siapa ikut siapa?

Biasa saja. Apakah kami saling membenarkan antara Muhammadiyah dan NU. Siapa yang lebih baik. Tidak. Sebagaimana Miftah dan Fauziyah, kedua tokoh novel "Kambing dan Hujan" yang aku baca justru sesudah menikah. Keduanya, tetap sholat subuh jamaah meski Miftah tidak membaca qunut. Saat subuh bersama pun suami tetap membaca qunut, aku tidak.

Sepertinya, pengalaman selama di kampus membuat kami jauh dari fanatik. Di kampus, kami berbaur dengan siapapun, bertemu banyak organisasi Islam dan berkawan dengan di antaranya, termasuk dengan pemeluk agama lain. Kami saling menghargai pendapat dan keyakinan masing-masing.  

Ketika bertemu awal Ramadhan yang berbeda

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline