Lihat ke Halaman Asli

Rijo Tobing

TERVERIFIKASI

Novelis

Kamu Harus Belajar Kalah, Ma!

Diperbarui: 2 Februari 2020   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepulang sekolah anak saya yang sulung pernah jatuh dari sepeda sekitar 500 meter dari rumah. Lututnya koyak tapi matanya kering. Baru setiba di depan rumah dia menjerit memanggil saya dan tangisnya pun pecah.

Begitulah karakternya. Dia akan menahan sakit sekuat tenaga sampai dia menemukan kembali tempat dia merasa aman dan terlindungi.

Kemarin ketika dia gagal menuju final liga taekwondo saya melihat dia berjalan mengitari arena dengan bibir terkatup. Matanya hanya memandang lurus ke depan sampai dia tiba di podium dan melihat saya mengembangkan tangan, siap untuk memeluknya. Dia mulai terisak-isak dan hati saya hancur.

Kesedihannya karena kembali mendapat medali perunggu seperti tahun lalu adalah juga kesedihan saya. Saya tahu betapa dia sudah berlatih keras, betapa dia berusaha meraih poin demi poin, tapi lawannya lebih kuat. Sambil menangis ia menyesali kondisi fisiknya yang masih batuk, tendangannya yang kurang tenaga, kejatuhannya karena didorong lawan, dan sejuta penyesalan lain.

Sulit bagi saya untuk membuat kepalanya tetap berada di atas air saat saya sendiri mulai tenggelam.

Naluri saya sebagai orang tua adalah membenarkan anak saya. Setibanya di rumah saya menonton lagi video saat dia tampil dan penyesalan-penyesalan dia yang saya coba counter dengan kalimat-kalimat motivasi, berubah menjadi penyesalan-penyesalan saya.

Seandainya begini, seandainya begitu. Sayangnya waktu tidak pernah bisa diputar kembali dan hasil akhir sudah keluar.

Hari ini anak saya yang tengah yang berkompetisi dalam liga. Keputusan untuk mengikutkan dia bisa dibilang sangat mendadak, hanya seminggu sebelum liga. Walaupun dia sudah punya teknik tendangan, pengalaman bertarungnya masih nol besar. Saya berani mengajukan dia karena saya ingin dia belajar mengelola emosi dan bertanggung jawab.

Di usia 6 tahun emosinya sangat labil. Dia bisa tiba-tiba tidak mau melakukan sesuatu hanya karena tidak mood. Sifatnya ini cukup membuat saya was-was, jangan-jangan nanti di arena dia tiba-tiba mogok, menolak untuk bertarung. Duh, saya nanti merasa malu dan tidak enak sama pelatihnya.

Oleh karena orang tua tidak diperbolehkan masuk ke arena, saya titip si anak tengah ke kakak kelasnya. Saya perhatikan dari podium moodnya masih bagus dan dia masih sempat tersenyum dan melambaikan tangan pada kami sebelum masuk ke arena.

Lawan tarungnya tadi lebih kuat dari lawan kakaknya kemarin. Anak saya berkali-kali jatuh ditendang dan tendangannya sendiri tidak masuk. Yang ajaib, dia tidak menangis. Padahal waktu latihan duel dengan kakaknya dia gampang sekali menangis kalau merasa kesakitan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline