"Tembakan itu bukan hanya menembus tubuh, tetapi juga merobek kepercayaan rakyat pada negara yang seharusnya melindungi mereka."
September dan Ingatan Luka
September sering diingat sebagai bulan pergolakan dalam sejarah Indonesia. Bagi banyak orang, bayangan paling pekat adalah 30 September 1965. Namun, dua dekade kemudian, tepat pada 12 September 1984, Jakarta Utara menyaksikan tragedi lain: darah rakyat tumpah di jalanan Tanjung Priok. Peristiwa ini dikenal sebagai bagian dari "September Hitam", ketika negara kembali menorehkan luka mendalam melalui represi aparat bersenjata terhadap warganya sendiri.
Sejarah ini bukan sekadar angka korban dan laporan resmi. Ia adalah kisah tentang ketegangan politik Orde Baru, tentang rakyat yang menolak dipaksa tunduk, dan tentang negara yang memilih peluru ketimbang dialog.
Politik Orde Baru dan Bara yang Membara
Awal 1980-an adalah masa hegemoni Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Pemerintah memaksakan asas tunggal Pancasila bagi organisasi masyarakat. Kebijakan ini ditolak oleh sejumlah kalangan, khususnya kelompok Islam, yang menilai Pancasila diposisikan lebih tinggi daripada agama.
Di Musala As-Sa'adah, Tanjung Priok, ulama dan aktivis lokal menyuarakan penolakan terhadap kebijakan tersebut. Pamflet-pamflet kritis ditempelkan di dinding musala, mengajak umat untuk menolak represi. Ketegangan mencapai titik genting ketika seorang Babinsa, Sersan Hermanu, memerintahkan agar pamflet dicopot. Ia bahkan masuk ke musala tanpa melepas sepatu---tindakan yang dianggap sebagai pelecehan terhadap kesucian rumah ibadah.
Amarah warga memuncak. Sepeda motor Hermanu dibakar, dan empat tokoh masyarakat ditangkap aparat. Penangkapan itu menjadi percikan api yang membakar bara konflik.
12 September 1984
Ribuan warga, dipimpin tokoh setempat Amir Biki, bergerak menuju kantor Kodim dan Polres Jakarta Utara. Mereka menuntut pembebasan tokoh yang ditahan. Namun, alih-alih membuka ruang dialog, aparat justru menyambut mereka dengan barikade bersenjata.
Ketika massa semakin dekat, rentetan peluru meletus. Tentara menembaki warga yang tak bersenjata. Tubuh-tubuh tumbang di jalanan, jeritan memenuhi udara malam. Laporan resmi pemerintah menyebut 24 orang tewas dan 55 luka-luka. Namun, menurut kesaksian korban dan keluarga, jumlah korban jauh lebih besar---bahkan mencapai ratusan jiwa.
Truk-truk militer kemudian melindas jalanan, mengangkut tubuh yang berserakan. Banyak di antaranya tidak pernah kembali ke rumah, diduga dikubur secara massal. Hingga hari ini, sebagian keluarga masih tidak tahu di mana jasad orang-orang tercinta mereka.
Sebuah Konflik yang Tak Pernah Adil
Tragedi Tanjung Priok memperlihatkan wajah paling telanjang dari otoritarianisme Orde Baru. Negara, yang seharusnya melindungi rakyat, berubah menjadi algojo yang menumpahkan darah. Aparat menganggap rakyat sebagai musuh, bukan warga negara yang punya hak untuk bersuara.
Di sisi lain, rakyat yang bergerak tidak lain hanya menuntut kebebasan berkeyakinan dan menolak diperlakukan sewenang-wenang. Mereka tidak bersenjata, tidak terlatih, hanya berbekal keyakinan dan suara moral. Ketimpangan inilah yang menjadikan tragedi ini bukan sekadar konflik horizontal, melainkan pembantaian sepihak.