Lihat ke Halaman Asli

Rifki Feriandi

TERVERIFIKASI

Open minded, easy going,

Simfoni dalam Persepsi (Bukan Pengalaman Pribadi)

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Seumur hidupku sebagai anak kampung, baru kali ini saya memasuki sebuah ruangan restoran yang begitu mewah. Padahal sih bukan restoran aneh-aneh, cuman sebuah kedai kopi. Tapi kok kedai ini terlihat sangat jauh bedanya dengan warung kopi Mang Uned di kampung. Lagi pula, rasa kopinya itu pun beda. Makanya bagi saya yang tidak begitu suka kopi, kopi di kedai ini cukup diterima di lidah, karena tidak terlalu terasa kopinya. Coba kita sebut satu demi satu. Ada capuccino, latte, frapucino dan cino-cino lainnya.

Sejak mengenal kedai kopi terkenal yang berjudul apa tuh, saya merasa menjadi “orang”. Gimana tidak, coba? Yang masuk ke kedai itu bukan orang-orang biasa, kan? Orang-orang biasa mah tidak bisa masuk ke kedai seperti itu, kecuali mereka-mereka yang berkantong tebal. Bayangkan, sekali minum segelas kopi saja harus mengeluarkan tiga puluh rebu perak lebih. Siapa yang kuat mengeluarkan duit segitu jika bukan mereka yang banyak uang, atau bagi mereka yang benar-benar butuh dengan gengsi. Nah, itulah yang terjadi, saat saya punya dua-duanya: kebetulan lagi banyak duit warisan dan saya butuh menjaga gengsi. Punya badan dan wajah yang minimalis seperti begini mah, gengsi bisa menjadi nilai tambah, kan?

Sudah ada tiga minggunya saya datang ke kedai kopi ini. Pegawainya bahkan sudah cukup hapal dengan kebiasaan saya, soalnya sebelum saya sempet ngomong, dia langsung bertanya: “'Capucino Pak?'. Deuh, sampai hapal menu kesukaan. Tambah geer nih, saya begitu dilayani. Bahkan pintu saja dibukain (ups, itu mah bukan dibukain, pintu otomatis katrok ….).

Lalu saya duduk di kursi biasa, di tengah ruangan. Kursinya dimundurin loh sebelum saya duduk. Lalu pelayan muda datang membawa kopi Capucino pesanan, ditambah satu dua kue. 'Selamat menikmati Pak' katanya. Saya yang sedang di awang-awang karena dilayani, mendengar kalimat itu sebagai: “Silakan Bos, diminum”. Ah, ternyata saya ngalamin juga jadi Bos.

Saat itu terdengar musik khas anak muda, R&B, disuarakan oleh wanita dengan suara yang indah.

Sruut, saya seruput kopi itu seteguk. Nikmat sekali. Saya lalu keluarkan laptop (begini-begini juga, saya tidak gaptek sodara). Saya manfaatkan Wifi gratis, hingga asyik berkeliaran di dunia maya. Saya itu perasaan saya begitu Bangga menggelora. Meski wajah kayak wayang berwajah merah – Cepot, tapi dengan minum kopi dan ngenet di kedai kopi ini, saya kok merasa jadi seperti Elo (itu loh, Elo penyanyi. Awas, depannya jangan ditambahin huruf “g” – Gelo = Gila)

Saking asyiknya berkelana di alam ghaib ('dunia maya' maksudnyah), saya sudah tidak bisa menghitung lagi gelas kopi ke berapa yang datang itu. Sekarang mah jenis kopi latte yang disajikan.

Musik di ruangan lalu berganti menjadi irama Melayu. Rasanya saya senang sekali dengan warung ini (ups salah, restoran atau kedai atau kafe maksudnya), ternyata masih memiliki idealisme tinggi dan mempunyai rasa bangga atas musik negeri sendiri. Dengan diantar indahnya musik negeri sendiri, rasanya saya lebih menikmati berkeliaran di internet.

Menginjak lagu selanjutnya, perutku terasa penuh. Entahlah ada reaksi kimia apaan, cuman rasanya ada balon-balon kecil yang meletus di perutku. Waduh. Walah, jangan-jangan saya sakit perut. Jangan-jangan perutku sedang memproduksi calon kentut. Ah, masa sih cuman minum kopi saja bisa memproduksi gelembung gas? Kan saya tidak sedang minum soda? Tapi, bisa jadi ya kalau kopi yang diminumnya beberapa gelas. Ups, baru sadar. Bukankah tadi pagi saya makan ubi jalar yang dibawa Paman dari Sumedang? Mana dimakan mentah lagi. Wah, bahaya nih.

Satu lagu lagi berjalan lewat. Perut tambah terasa berat menahan gas yang terus menekan ingin keluar. Tengok kiri-kanan, ternyata kedai kopi sudah penuh. Gimana dong. Toilet letaknya di luar. Cukup jauh lagi. Kalau dibiarin kentut sekaligus, kebayang dong gegernya restoran kopi itu. Tidak sopan banget. Lagian, mau dikemanain harga diriku jika kentutku terdengar orang lain.

Lagu yang diputar sekarang bergenre dangdut. Yang bernyanyi seorang laki-laki bersuara berat. Langsung terbayang seorang cowok cukup tinggi besar, berewok, memakai jubbah putih sedang memainkan gitarnya naik turun. Iya, betul. Dialah Bang Oma Irama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline