Lihat ke Halaman Asli

Berpisah dengan Emak

Diperbarui: 4 Agustus 2019   10:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Masih membekas di benak ini wajah emak yang sedih, luruh di tengah badai pertengkaran dengan ayah. Saat itu usiaku hampir menginjak enam tahun. 

Nenek dan bibi yang tak ingin aku menjadi rebutan kedua orangtuaku, menitipkanku di rumah saudara terdekat yang berjarak hampir limapuluh meter dari rumahku. Itulah terakhir kali aku melihat emak. Seterusnya aku hidup berdua dengan ayah. Hidup dalam nestapa karena berhari-hari aku tiada bisa melupakan orang yang telah melahirkanku itu.

Hampir lima bulan setelah pertengkaran emak dan ayah, dan tanyaku tentang di mana emak serta bagaimana kondisinya, selalu tak berjawab, ayah tiba-tiba membawa perempuan lain ke rumah. Pertama datang aku memanggilnya tante. Kali kedua, saat kami bersua di pasar, perempuan itu merayuku memanggilnya mama. Namun aku menggeleng marah. 

Ayah kelihatan kesal. Hanya saja dia tak ingin berlaku keras kepadaku. Dia mungkin sadar bahwa tak mudah untuk memberiku pemahaman bahwa ayah dan dia segera menikah.

Nyatanya di bulan ketujuh setelah kepergian emak, mereka menikah. Mereka kelihatan sangat bahagia. Mereka membiarkanku nelangsa sambil meratapi emak yang tak kunjung kembali. 

Sementara tante mulai memasuki kehidupan keluarga kami dengan pongahnya. Jika ada ayah, dia lembut bukan kepalang kepadaku. Berbeda kalau ayah tak ada, dia berubah menjadi srigala yang setiap saat bisa mencelakaiku. 

Sering kuceritakan kepada nenek tentang tingkah laku tante yang membuatku sengsara. Sayang, nenek mengatakan kalau itu hanya prasangkaku saja. Begitu mengadu ke bibi, jawaban yang kuterima setali tiga uang. Malahan bibi membentakku. 

Dia mengatakan aku anak manja, cengeng dan tak tahu diuntung serupa emak. Aku tergoda menanyakan kenapa emak tak tahu diuntung. Bibi menghindar. Dia tak mau lagi berbincang lama-lama denganku. Dia takut salah ngomong.

Setahun lebih setelah pernikahan ayah dan tante, lahirlah anggota baru di tengah keluarga kami. Tante yang sebelumnya memang bengis, bertambah bengis saja. Dia tak sungkan memarahiku di depan ayah. Anehnya ayah bukannya membela, melainkan balas memarahiku.

Kata teman-teman di sekolah, memiliki ibu tiri itu memang menyakitkan. Mereka pernah mengajakku menonton film di video yang mengisahkan kekejaman ibu tiri, sehingga bulu kudukku merinding. Belakangan aku tak berani pulang ke rumah. Aku takut disiksa tante seperti di film yang kutonton.

Aku meminta perlindungan kepada nenek. Aku mengatakan tak mau lagi tinggal serumah dengan ayah dan tante. Sebab iba melihatku, nenek mau saja. Nenek memberitahu ayah bahwa aku ngotot tinggal di rumah nenek. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline