Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Jangan Sebut Saya Pikun

Diperbarui: 8 Februari 2019   20:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ref. Foto : pixabay

Saya sungguh tak ingin dianggap lelaki tua yang pikun, meskipun sekarang sudah berumur hampir tujuh puluhan tahun. Coba lihat di cermin, saya masih seperti lelaki berumur limapuluhan, kan? Belum pantas meninggalkan bisnis ekspedisi yang hampir empatpuluh tahun saya geluti.

Alangkah bodohnya, bila di masa kejayaan ini, saya membiarkannya terbengkalai, dan mewariskannya kepada anak sulung saya yang belum tentu memiliki visi dan misi seperti saya. Bisa-bisa perusahaan bangkrut karena dia terlalu royal menggunakan kas perusahaan. Dia tak paham manajemen. Selalu memperturutkan hawa nafsu.

Tentu memalukan dan menyakitkan, bila suatu hari kelak perusahaan yang saya rintis sedikit demi sedikit. Jatuh-bangun sampai saya hampir stress. Lalu ambruk secepat membalik telapak tangan.

Saya juga paling tak senang ketika mendengar anjuran anak-cucu untuk istirahat, sebab pikiran saya bukan seperti dulu lagi. Saya tahu, itu ucapan yang diperhalus saja. Mereka hanya ingin mengatakan saya pikun.

Butuh seseorang untuk merawat, misalnya perempuan, setelah mendiang istri saya pergi ke alam baka sekian tahun lewat. Maka saya selalu berusaha selalu kelihatan tegar di mata anak-cucu. Pagi-pagi saya bangun dan berolahraga mengelilingi komplek perumahan, sementara anak-cucu mungkin masih mendengkur kedinginan.

Saya pun paling anti ditemani ke mana-mana. Seperti seseorang yang harus dituntun. Diingatkan berulang-ulang untuk sesuatu yang memualkan. Misalkan; jangan lupa meminum obat, rokoknya dikurangi kalau tak ingin bengeknya kambuh, dan seabrek nasehat yang membuat telinga saya tersumbat dan pikiran mampet.

Salah satu penyelesaiannya, paling-paling saya menuju kantor. Melihat kesibukan karyawan menjalankan operasional bisnis ekspedisi. Ketika jenuh, saya akan mengunjungi restoran eksotis bergaya dan menu prancis di pusat kota Palembang.

Tapi di situ, saya tak memesan menu aneh-aneh, misalnya pizza, atau spaghetti atau salad buah. Brengsek makanan itu! Membuat saya harus sering ke kakus karena perut tak menerima.

Pilihan terbaik saya, pastilah setumpuk roti bakar, dan secangkir cappuccino. Mungkin-mungkin kalau kepingin menyeruput seloki vodka. Namun, husss.... Ini diam-diam. Bisa berabe kalau anak-cucu mengetahui perbuatan saya.

Nah, seperti hari ini, setelah bertengkar dengan anak sulung saya mengenai hobbi buruk saya menikmati es krim sembunyi-sembunyi, pilihan terbaik adalah melongok ke perusahaan. Dilanjutkan mengunjungi restoran itu sendirian. Tawaran sopir dan bodyguard di rumah untuk menemani, tak saya ladeni. Saya bersiap-siap memotong gaji bulanan mereka bila masih membantah.

Ah, lega rasanya setelah berada di meja paling sudut di restoran itu. Hawa sejuk AC membanjiri badan saya. Sengaja saya pesan seloki vodka, dan ingin mengisap cerutu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline