Lihat ke Halaman Asli

Ridhwan EY Kulainiy

Hidup untuk berpengetahuan, bukan berdiam diri dalam ketidaktahuan oranglain

Koffie Drinken 1: Masa Kecil Mohammad Hatta

Diperbarui: 24 Februari 2020   06:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Drs. H. Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi pada tanggal 12 Desember 1902. Bukittinggi merupakan sebuah kota kecil kala itu, terletak di tengah-tengah dataran tinggi Agam. Letaknya indah di ujung kaki Gunung Marapi dan Gunung Singgalang, sebelah utaranya pula melingkung cabang-cabang punggungan dari Bukit Barisan. Antara Bukittinggi dan Gunung Singgalang terbentang sebuah lembah yang dalam dan bagus pemandangannya. Agak jauh dari tempat itu, di jurusan sebelah timur, tampak Gunung Sago. Hawa kota Bukittinggi sejuk, bahkan dingin. Berbagai jenis bunga tumbuh subur di sana, orang-orang yang datang bertamasya dari daerah pesisir menamai Bukittinggi dengan sebutan "Kota Kebun Bunga Mawar."

Kota yang bersih, dimana setiap rumah di Bukittinggi memiliki pekarangan yang ditumbuhi dengan bunga-bunga yang indah. Pada masa itu, Bukittinggi oleh pemerintah Hindia-Belanda disebut dengan nama Fort de Kock. Nama itu mengingatkan kita pada peristiwa Perang Padri di Sumatera Barat, yang berlangsung dari tahun 1820-an hingga awal tahun 1840-an.

Perang Padri berawal dari pertentangan antara kaum adat dengan kaum agama. Guru-guru agama yang baru kembali dari Mekkah, yang di sana terpengaruh dengan sikap keras dan murni kaum Wahabi, mau membersihkan agama Islam di Minangkabau dari berbagai perbuatan yang diadatkan, seperti mengadu ayam, makan sirih dan menghisap cerutu. Padahal sejatinya ajaran Islam adalah mengenai kedamaian, dimana di atas kedamaian itulah Nabi Muhammad.SAW membiarkan berlaku hukum kebiasaan di Tanah Arab yang memberikan keselamatan umum dan kedamaian antar kaum. Tetapi pengikut-pengikut baru dalam Islam yang belum memahami ajaran Islam seluruhnya untuk dunia dan akhirat lebih fanatik dibandingkan dengan Rasul dan pengikut-pengikut yang pertama (para sahabat).

Pertentangan kaum pemangku agama yang menyebut diri mereka sebagai kaum Padri dan kaum adat tersebut digunakan oleh orang Belanda untuk meluaskan kekuasaannya ke daerah pedalaman Minangkabau. Pada masa itu di Minangkabau, orang-orang tinggal dan membuat desa masing-masing berdasarkan bangsanya. Orang jawa tinggal di pemukiman yang khusus diisi oleh orang jawa, orang china tinggal di pemukiman yang memang khusus ditinggali oleh orang china saja dan begitu seterusnya.

Pendidikan di zaman itu sangat terbatas. Sekalipun penduduk Bukittinggi tidak banyak, pada waktu itu di sana sudah terdapat sebuah sekolah rendah Belanda tujuh tahun, dua buah sekolah rakyat lima tahun yang disebut Sekolah Melayu dan sebuah sekolah guru enam tahun yang terkenal dengan nama "Sekolah Raja". Selain itu, orang Tiongkok mempunyai sekolah sendiri yang terletak di Kampung China. Sekolah Raja yang ada di Bukittinggi adalah satu-satunya sekolah guru untuk seluruh Sumatera. Murid-muridnya datang dari jauh, dari Aceh, Tapanuli, Bengkulu, Palembang, Riau dan yang terbanyak dari Sumatera Barat. Pendidikan yang berjalan saat itu dikendalikan oleh pemerintah Hindia-Belanda bertujuan hanya untuk menjinakkan semangat mereka agar tidak memberontak kepada pemerintahan.

Tempat tinggal Bung Hatta terletak di Aur Tajungkang, di pinggir kota pada jalan raya yang menuju ke payakumbuh jurusan ke timur. Sekarang nama jalannya adalah Jalan Sutan Sjahrir. Bung Hatta mengawali pendidikan agama di sekitar kampung di surau Syekh Muhammad Djamil Djambek yang merupakan seorang ulama besar yang terkenal sampai keluar daerah. Beliaulah yang membimbing Bung Hatta untuk mengenal ajaran Islam, mengaji al-Quran sampai tamat dengan dibantu oleh murid-murid lainnya yang sudah lebih dulu khatam Al-Quran.

Bung Hatta tinggal bersama Kakeknya yang dipanggilnya dengan sebutan Pak Gaek, yang merupakan seorang yang memiliki usaha jasa angkutan pos yang sering diborongkan oleh pemerintah Hindia-Belanda yang berjalan tiga kali dalam seminggu. Dari Kakeknya-lah Bung Hatta belajar mengorganisir, sebab jasa pengangkutan pos tersebut tidak mungkin bisa berjalan jika tidak diorganisir dengan baik berdasarkan dengan pengalaman dan keilmuan yang dimiliki oleh Kakeknya. Selain pengangkutan pos dengan pemerintah, Kakek Bung Hatta juga memnorong kerja menyediakan barang makanan untuk para pekerja di Sawah Lunto. Pekerjaan sebanyak itu bisa berjalan dengan lancar dan baik, tentu dengan kemampuan mengorganisir yang baik pula.

Bung Hatta kecil mengalami sebuah peristiwa yang dikenal dengan nama Perang Kamang yang terjadi pada sekitar 1908. Kamang adalah nama sebuah desa yang terletak 16 kilometer dari Bukittinggi dan rakyat yang tinggal disana berontak terhadap kekuasaan Belanda. Perang itu melibatkan kaum laki-laki dan perempuang dengan menggunakan berbagai macam senjata tajam. Hampir 100 orang mati tertembak, pada pihak Belanda ada selusin yang mati dan kurang lebih 20 orang megalami luka-luka. Kejadian itu terjadi di awali dengan penyerangan oleh rakyat ke markas tentara bersenjata Belanda di malam hari oleh rakyat yang bertekad mati dengan semboyan:

"Lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup bercermin bangkai."

Pemberontakan itu terjadi karena rakyat dipaksa membayar pajak secara langsung setelah sebelumnya rakyat hanya dimintai pajak tak langsung sebagai sisa-sisa dari cultursteel. Akibat kejadian itu terjadi kondisi yang sangat mencekam. Banyak tentara Belanda berjaga-jaga, mulai dari pusat kota hingga di jembatan-jembatan yang menghubungkan beberapa pedesaan. Tak lama sesudah kejadian itu, Kakek Bung Hatta mendapatkan pesan bahwa shabatnya yang dipanggil Pak Gaek Rais oleh Bung Hatta, ditangkap kolonial Belanda. Pak Gaek Rais adalah seorang saudagar yang terkenal di Jakarta dahulu sebagai pionir yang penuh dengan inisiatif, seorang wiraswasta modern.

Alasan penangkapannya adalah bahwa Pak Gaek Rai ditangkap berhubungan dengan Perang Kamang. Hal itu terdengar tak masuk akal, sebab Pak Gaek Rais tinggal di Payakumbuh dan tidak pernah berhubungan dengan orang Kamang. Karena terbukti tidak bersalah Pak Gaek Rais akhirnya dibebaskan dari segala tuduhan dan dibebaskan untuk kemana saja, kecuali kembali ke Payakumbuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline