Lihat ke Halaman Asli

Ridha Afzal

TERVERIFIKASI

Occupational Health Nurse

PDIP, Megawati atau Puan, Tinggal Nunggu Giliran

Diperbarui: 7 September 2020   12:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Repelita.com 

  Melihat ke belakang era Orde Baru, bagaimana perjalanan Golkar yang tidak menyebut dirinya sebagai partai politik, tapi kenyataannya menguasai dunia politik di Indonesia merupakan contoh nyata 'kelamnya' demokrasi politik di Indoesia.

Masyarakat waktu itu sangat takut, bahkan untuk memilih. Saya sempat mendengar cerita senior yang wajib milih Golkar dalam Pemilu. Mereka yang tidak nyoblos Golkar merasa terintimidasi. Hidup jadi dihantui rasa takut. Akhirnya lebih baik manut jika ingin selamat.

Begitu otoriternya perlakuan Golkar terhadap rakyat kecil, seolah-olah di negeri hanya ada satu partai yang bisa berkuasa. Bagaimana mungkin terjadi rasio 90%:10% antara partai Pemerintah dengan partai rakyat swasta? Sangat tidak bisa masuk di akal. Tetapi rakyat tidak mamu berbuat banyak.

Bagaimanapun, seperti kata Ustadz Abdul Somad (UAS). Semua ada masanya. Ketika dorongan perubahan tidak terbendung, saat itulah berakhirnya Orba.

Giliran PDIP

Golkar berakhir begitu mengenaskan, karena ditinggal begitu saja oleh rakyat yang cintanya semu pada Golkar. Berbondong-bondong rakyat pindah ke partai bergambar warna hijau (Islam) dan nasionalis (merah).

Ketika terjadi Reformasi, rakyat Indonesia, baik pegawai negeri (PNS) maupun swasta, merasa kini erannya suda beda. Kita mulai lega, karena udara kebebasan politik sudah mulai segar bisa kita hirup. Dipimpin oleh Amien Rais, Gus Dur dan Megawati rakyat menyamabut dengan suka cita.

Three in One ini merupakan tiga tokoh penggebrak pintu demokrasi, dari era Orde baru menuju Era Reformasi. Era di mana rakyat Indonesia memiliki kebebasan berekspresi. Kita bebas menyuarakan asirasi politik ke mana saja yang kita suka.

Era Transisi

Era Gus Gur, Megawati dan Habibie, adalah masa transisi di mana rakyat mulai belajar bagaimana bisa memanfaatkan arti kebebasan ini. Kita merasa sangat lega, karena tidak lagi ada kekuasaan otoriter yang membelenggu kebebasan berekspresi.

Sayangnya, kebebasan ini kebablas, sehingga tidak jarang terjadi konflik. Kita langgar norma-norma adat ketimuran, agama dan tradisi. Akibatnya lainnya adalah marak terjadi pelaporan karena pencemaran nama baik atau pelecehan, karena kita kurang pandai menjaga etika ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline