Lihat ke Halaman Asli

Reza Firnanto

Mahasiswa Akuntansi Universitas Pekalongan

Konservasi Alam, Wujud New Normal yang Seharusnya

Diperbarui: 1 Februari 2021   06:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

amanupadhyay on unsplash

Pada tanggal 10 Agustus, Indonesia memperingati Hari Konservasi Alam Nasional atau yang biasa disingkat dengan HKAN setiap tahunnya. HKAN ini ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia yang keenam, Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009 berdasarkan Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2009.

Penetapan HKAN ini memiliki tujuan untuk mengkampanyekan pentingnya konservasi alam bagi kesejahteraan masyarakat. Selain itu, HKAN juga bertujuan untuk  mengedukasi dan mengajak masyarakat agar berperan aktif dalam menyelamatkan ekosistem alam.

Namun, peringatan HKAN tahun ini akan berbeda dengan peringatan HKAN tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, peringatan HKAN tahun ini dilakukan di tengah pandemi COVID-19 yang masih menyerang seluruh dunia. Bahkan, pada saat peringatan HKAN ini, jumlah kasus positif virus corona di Indonesia semakin meningkat.

Sikap Manusia terhadap Alam menjadi Penyebab Pandemi

Penyebaran virus tersebut yang semakin meningkat, mendorong sejumlah ahli untuk melakukan penelitian. Seorang profesor imunologi dan mikrobiologi, Andersen, PhD, menyatakan bahwa virus ini bukan produk rekayasa genetika. Pernyataan ini didukung oleh data yang membuktikan virus ini secara keseluruhan substansinya berbeda dengan jenis virus yang sudah ada. Virus ini justru lebih menyerupai virus yang terdapat pada kelelawar dan trenggiling.

Hal ini tentu menjadi virus ini sebagai virus yang bersifat zoonosis. Zoonosis merupakan penyakit yang menular dari hewan ke tubuh manusia, atau sebaliknya. Pada bulan Februari lalu, para peneliti di Universitas Yunan menyatakan dalam tulisan ilmiah di Current Biology bahwa virus ini kemungkinan berasal dari Trenggiling. Trenggiling sendiri merupakan salah satu jenis hewan asli di Indonesia yang sering diburu dan diperdagangkan. Bahkan, di beberapa daerah di Indonesia, hewan ini justru sering dijadikan makanan.

Sebelum pandemi COVID-19 ini terjadi, sejumlah ilmuwan telah menyatakan bahwa penularan virus dari satwa liar juga pernah menjadi penyebab Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus (SARS-Cov) dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus ( MERS-CoV). SARS-Cov ternyata berasal dari kelelawar dan tersebar melalui musang yang diperjualbelikan.

Hasil penelitian dari Wuhan Institute of Virology menyatakan MERS-CoV yang terjadi pada 2012 juga berasal dari kelelawar. Pernyataan serupa juga disampaikan beberapa ilmuwan pada saat terjadinya pandemi COVID-19 ini. Mereka berpendapat bahwa kelelawar yang diperdagangkan di sebuah pasar satwa liar di Wuhan, China kemungkian kuat menjadi penyebab pandemi ini.

Pandemi menjadi Berkah Bagi Alam

Meski begitu, pandemi ini justru memberikan dampak yang positif juga bagi alam. Perilaku physical distancing dalam implementasi PSBB dan lockdown mengakibatkan perilaku manusia dalam bersosialisasi menjadi berubah.

Ajakan untuk tetap di rumah saja dilakukan agar penyebaran virus ini dapat dihambat membuat aktivitas manusia di luar rumah menjadi berkurang. Disadari maupun tidak, pengurangan aktivitas manusia di luar rumah ini berdampak positif bagi alam. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline