BARISTA & RAHASIA RHINOPLASTY
"Di balik secangkir espresso, ada rupa baru yang menguji cinta lama."
Retno Achmad Faisal
Benhil Boutique Cafe
"Ayo, Frans, jangan terlalu kasar nge-grind-nya! Kopi bisa gosong aromanya nanti!" suara Haikal Ahmad terdengar tegas tapi penuh semangat dari balik meja bar. Tangannya lincah memegang portafilter, sementara matanya sesekali melirik ke arah Pamela yang sudah tak sabar menunggu.
Pamela, seorang transpuan dengan make-up cetar membahana dan kuku panjang berwarna ungu metalik, menepuk-nepuk meja bar dengan gaya manja.
"Duh, Bang Haikal... ini pesanan gue loh. Jangan sampe salah racik, ya. Gue maunya yang spesial, kayak gue." Ia mengedip nakal, membuat Frans hampir tersedak tawa.
Nurul, asisten lain yang berhijab, ikut menimpali sambil menuang air panas dari gooseneck kettle.
"Tenang, Mbak Pamela. Kopi andalan kita tuh, Benhil Signature Latte, racikan langsung owner. Pokoknya, classy!"
Pamela tertawa terpingkal, suaranya melengking. "Signature latte? Aduh, kayak tanda tangan artis aja. Jangan-jangan kalo gue minum bisa bikin makin kinclong ya?"
Haikal hanya geleng-geleng sambil menaruh portafilter yang sudah berisi kopi hasil gilingan burr grinder. Ia mengetuknya pelan ke tamping mat, lalu menekan bubuk kopi itu dengan tamper stainless. Gerakannya presisi, penuh gaya layaknya barista profesional.
"Pamela, kopi itu ibarat cinta. Kalo asal-asalan, rasanya hambar. Tapi kalau diracik dengan hati...," ia berhenti sejenak, menyalakan tuas mesin espresso, suara desisan uap terdengar. "...hasilnya bisa bikin nagih."