Lihat ke Halaman Asli

Veronica Rompies

hobi ngomong, omongannya ditulis. haha.

Bangsa Bervirus

Diperbarui: 31 Mei 2017   21:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

image: fotolia.com

Trilogi SaveNKRI #2

Bangsa kita sedang sakit.

Sepertinya karena terpapar virus yang sudah puluhan tahun, semakin berkembang biak di dalam tubuh negeri ini.   Menggerogoti jaringan organ-organ yang sehat, melemahkan, melumpuhkan... dan perlahan mematikan fungsinya.  Puluhan tahun pula kita hanya diberikan painkiller, obat penghilang rasa sakit, yang tidak akan membunuh virus atau menyembuhkan penyakit, namun membuat kita sejenak merasa sehat.  Virus korupsi dan keserakahan telah menyebar begitu luas dan mendalam.

Pada permasalahan di Nusantara saat ini, bahkan pengkonsumsi painkiller ini merasa lebih sehat dari yang paling sehat.  Padahal, dalam dosis berlebih, pemakaian menahun dan penggunaan yang salah, dapat membahayakan tubuh.  Bahaya yang ditimbulkan bisa lebih besar daripada rasa sakit yang diredamnya.  Virus maupun efek buruk dari painkiller ini bersama-sama menggerogoti tubuh, sehingga daya tahan tubuh semakin melemah.  Ya, korupsi dan penggunaan agama dengan cara tidak tepat, dengan dosis yang berlebih selama bertahun-tahun telah sangat merusak ketahanan tubuh bangsa ini.

Mengerikan saat kita menyadari virus korupsi dan keserakahan ini begitu telah sangat diterima dalam kehidupan kita sehari-hari.  Begitu mudahnya kita bahkan terlibat di dalamnya, disadari maupun tidak.  Bahkan sebagian orang masih banyak yang tega menularkan virus ini kepada anak-anaknya, dan membiasakan mereka untuk hidup bersama virus itu dan pil painkiller secara bersamaan, agar mereka tidak terlalu sadar akan buruknya efek yang ditimbulkan virus itu.

Contoh kecil, sebentar lagi tiba waktunya kenaikan kelas dan kelulusan anak-anak sekolah.  Mari kita perhatikan di sekitar kita, berapa banyak orangtua yang akan tega 'membeli bangku' pada pejabat sekolah, agar anaknya bisa duduk di baris terdepan dalam kelas barunya.  Berapa banyak pula yang akan tega membeli tiket 'jalan belakang' agar anaknya dapat masuk sekolah lanjutan favorit?  Mungkin bisa diingat-ingat kembali, sesaat sebelum ujian kelulusan tahun ini atau tahun-tahun sebelumnya, berapa banyak orangtua memberikan uang pada anaknya, pada guru les, untuk mencari dan membeli soal bocoran ujian?  Sadarkah kita bahwa kegiatan ini adalah termasuk menyebarkan virus dukungan terhadap korupsi?  Jika anak-anak sudah terbiasa sejak dini menganggap kecurangan dan korupsi adalah hal yang wajar, jangan pernah berharap negeri ini akan maju dan tercipta kesejahteraan yang merata.  

Jika dalam pembangunan mental anak sudah mulai terpapar virus, ia akan berkembang dengan menganggap praktek korupsi dan dukungan terhadap korupsi dan segala jenis kecurangan adalah hal yang lumrah, normal.  Ini sudah terjadi pada saat ini.  Anak-anak itu kini telah dewasa, menjadi saya dan anda.  Kita yang terbiasa memilih 'jalan damai' saat tertangkap polantas menerobos lampu merah.  Kita yang terbiasa memberikan 'tips' saat membuat SIM supaya cepat lulus tanpa ujian praktek parkir mundur di lokasi sempit.  Kita yang terbiasa menjanjikan 'komisi' pada penyelenggara tender agar proyek pekerjaan dapat diberikan.  

Lalu, benarkah kita menginginkan generasi penerus kita berjalan di jalur yang sama?  Generasi yang pada kelahiran mereka, kita panjatkan do'a, berikan dan terima ucapan selamat, agar mereka kelak tumbuh menjadi orang yang shaleh dan shaleha, berguna bagi nusa bangsa dan agama.  Kemudian dalam masa pertumbuhan mereka kita sendiri yang memaparkan virus korupsi, dan dalam masa yang sama kita juga mengajari mereka berdoa, agar senantiasa Tuhan memberikan ampunan terhadap kesalahan yang kita perbuat.

Kita mungkin membenci pejabat negara dan sistem birokrasi yang penuh dengan praktek korupsi.  Mengapa?  Apakah karena iri, mereka memiliki kesempatan korupsi dengan nilai lebih tinggi dari kita?  Apakah karena mereka bertindak sebagai penerima uang, dan kita berada di posisi sebaliknya, yang memberikan uang untuk mendapat kemudahan?  Pernahkah terfikir, jika kita berada di posisi yang sama, kita akan melakukan juga apa yang mereka lakukan, memberi tarif pada kemudahan? 

 Jangan buru-buru bilang tidak, jika kita terbiasa membeli kemudahan, maka praktek jual beli ini pun bukan hal yang aneh.  Hanya saja kini, mungkin kita tidak berada di posisi yang mampu menjual, hanya bisa membeli, itu pun hanya yang murah-murah saja, misalnya seratus - tiga ratus ribu untuk lulus ujian SIM atau lupa bawa SIM.  

Bagaimana jika kita berada di posisi penjual, seperti para pejabat koruptor itu, dan kemudahan yang kita tawarkan bernilai lebih dari 8 digit, masih mampu menolak?  Selain itu, kondisi 'hampir' memaksa kita untuk menjual kemudahan, menjadikannya komoditas.  Jika tidak mau menjualnya, akan banyak sekali ancaman datang dari berbagai penjuru.  Tiba-tiba akan tercipta sebuah drama tentang kita dengan skenario yang ajaib, yang membuat kita dan keluarga harus di-bully di medsos, terancam kehilangan jabatan, hingga masuk bui dengan tuntutan di luar akal sehat.  Kesalahan kita yang terberat adalah, menolak untuk menjual kemudahan dan menolak membeli 'keamanan', maka kita harus disingkirkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline