Lihat ke Halaman Asli

Restianrick Bachsjirun

Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN)

TNI 80 Tahun: Dari Rakyat, Bersama Rakyat, Untuk Kedaulatan Bangsa

Diperbarui: 3 Oktober 2025   07:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Delapan puluh tahun perjalanan Tentara Nasional Indonesia (TNI) bukan sekadar rangkaian usia kelembagaan, melainkan representasi dari sejarah panjang perjuangan bangsa dalam merawat kemerdekaan dan kedaulatan. Momentum ini menjadi ruang reflektif bagi bangsa Indonesia untuk menimbang kembali: apakah TNI masih berada pada garis historisnya sebagai tentara rakyat, ataukah tergelincir ke dalam jebakan pragmatisme kekuasaan dan ekonomi politik yang mengasingkannya dari rakyat. Refleksi ini penting karena, sebagaimana ditegaskan oleh filsuf politik Hannah Arendt, setiap institusi kekuasaan hanya akan bertahan sejauh ia memiliki legitimasi yang berakar pada masyarakat yang dilayaninya (Arendt, 1972).

Sejarah TNI merekam suatu metamorfosis unik. Tiga hari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, lahirlah Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 22 Agustus 1945, yang berfungsi menjaga keamanan rakyat di tengah kekosongan pemerintahan. Kemudian pada 5 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat yang mengubah BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), sebuah institusi militer yang lebih terorganisir dan inilah yang ditetapkan sebagai hari jadi TNI. Transformasi selanjutnya melahirkan Tentara Republik Indonesia (TRI) pada 26 Januari 1946, hingga pada 3 Juni 1947 nama Tentara Nasional Indonesia (TNI) resmi digunakan. Rangkaian ini mencerminkan dialektika antara kebutuhan praktis mempertahankan republik dengan cita-cita membangun tentara nasional yang modern dan profesional (Anderson, 2006).

Narasi ini menegaskan bahwa TNI lahir bukan sebagai instrumen kekuasaan elite, melainkan sebagai "anak kandung revolusi" yang muncul dari rahim rakyat. Hal ini membedakan TNI dari tradisi militer di banyak negara lain yang lahir dari institusi negara kolonial atau rekayasa rezim. Dalam perspektif teori nation-building, hal ini menempatkan TNI sebagai bagian integral dari proses konsolidasi bangsa, di mana rakyat, negara, dan tentara tidak dapat dipisahkan (Smith, 2010). Artinya, identitas TNI sejak awal bukanlah kekuatan yang asing dari masyarakat, tetapi justru perwujudan paling konkret dari aspirasi rakyat untuk berdaulat.

Namun, perjalanan sejarah tidak pernah steril dari paradoks. Pengalaman panjang Orde Baru, misalnya, menunjukkan bagaimana TNI (saat itu ABRI) terjebak dalam dwi fungsi politik yang menimbulkan trauma kolektif bangsa. Sejumlah pengamat kemudian membingkai TNI sebagai "momok demokrasi" dan ancaman bagi supremasi sipil. Narasi ini sejalan dengan analisis Huntington (1957) dalam The Soldier and the State, yang menekankan bahwa militer modern harus tunduk pada otoritas sipil demi menjaga demokrasi. Akan tetapi, pendekatan ini seringkali menjadi bias epistemologis ketika diterapkan di luar konteks Eropa--Amerika, sebab mengabaikan fakta historis Indonesia yang menempatkan TNI sebagai bagian inheren dari rakyat.

Faktanya, demokrasi Indonesia bukanlah demokrasi liberal murni, melainkan demokrasi Pancasila yang mensyaratkan keseimbangan antara kebebasan, keadilan sosial, dan kedaulatan rakyat. Dalam kerangka ini, posisi TNI tidak bisa dipahami semata dengan lensa civil-military relations ala Huntington, tetapi perlu dibaca dengan pendekatan ekologi politik yang melihat relasi antara negara, rakyat, dan militer sebagai sebuah kesatuan ekosistem kekuasaan yang khas (Bryant & Bailey, 1997). Dengan demikian, TNI harus dipandang bukan sebagai residu otoritarianisme, melainkan sebagai institusi yang berpotensi menjadi pilar demokrasi pro-rakyat.

Peringatan 80 tahun TNI karenanya tidak boleh hanya menjadi upacara seremonial, melainkan momentum refleksi untuk mengembalikan orientasi filosofis TNI: "dari rakyat, bersama rakyat, untuk kedaulatan bangsa." Reposisi ini penting untuk menghindarkan TNI dari dua ekstrem: pertama, keterasingan dari kehidupan rakyat akibat stigma masa lalu; kedua, jebakan pragmatisme yang menyeretnya menjadi bagian dari oligarki predatoris. Jalan tengah yang konstruktif adalah meneguhkan kembali TNI sebagai tentara rakyat yang proaktif dalam menjaga kedaulatan bangsa, baik dalam aspek militer, ekonomi, maupun sosial budaya.

Dengan demikian, membicarakan TNI hari ini bukanlah sekadar membicarakan militer dalam pengertian sempit, tetapi membicarakan eksistensi bangsa yang berdaulat. TNI adalah refleksi dari jiwa kolektif rakyat Indonesia yang ingin merdeka, berdiri sejajar, dan tidak tunduk pada dominasi asing maupun oligarki dalam negeri. Oleh karena itu, peringatan 80 tahun TNI harus ditransformasikan menjadi diskursus kebangsaan: bagaimana menjadikan TNI tetap setia pada jati dirinya sebagai anak kandung rakyat dan pilar kedaulatan bangsa menuju Indonesia Emas 2045.

TNI dalam Sejarah: Lahir dari Rakyat

Sejarah kelahiran TNI menunjukkan suatu kekhasan yang membedakannya dari tradisi militer di banyak negara lain. Jika di Amerika Latin atau Afrika, militer kerap berakar dari struktur kolonial yang diwariskan penjajah dan kemudian dimanfaatkan rezim otoriter untuk melanggengkan kekuasaan, maka di Indonesia TNI justru lahir dari denyut revolusi rakyat. Sejak awal, ia bukan instrumen kekuasaan elitis, melainkan manifestasi dari aspirasi kolektif rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan (Reid, 2011). Dalam perspektif sosiologi militer, hal ini dapat dipahami sebagai bentuk people's army, di mana tentara tidak hanya berfungsi sebagai kekuatan pertahanan, tetapi juga sebagai perpanjangan dari kehendak rakyat yang berdaulat (Janowitz, 1960).

Hubungan organik TNI dengan rakyat terlihat jelas dalam proses pembentukannya. Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal TNI, sebagian besar beranggotakan pemuda, bekas anggota PETA, Heiho, hingga laskar-laskar rakyat yang bersatu untuk menjaga republik. Artinya, sejak kelahirannya, tentara Indonesia bukanlah produk "pabrik" militer negara, melainkan hasil fusi dari keberanian rakyat yang bersenjata. Inilah yang membedakan TNI dari militer profesional ala Barat yang terbentuk melalui institusi formal negara dan tunduk sepenuhnya pada doktrin sipil-militer liberal. Di Indonesia, militer dan rakyat justru terikat dalam organic solidarity, yakni keterhubungan yang bersumber pada pengalaman penderitaan dan perjuangan bersama (Durkheim, 1997).

Karakter organik ini pula yang menjelaskan mengapa sejak awal revolusi, TNI tidak hanya berperan sebagai kekuatan militer, tetapi juga sebagai simbol nasionalisme dan patriotisme. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan melawan kembalinya Belanda melalui agresi militer adalah bukti konkret dari eksistensi TNI sebagai guardian of sovereignty. Dalam terminologi Carl Schmitt, TNI berfungsi sebagai "decisionist power", yaitu kekuatan yang memastikan keputusan eksistensial bangsa untuk hidup merdeka tidak diganggu gugat oleh pihak asing (Schmitt, 2005).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline