Fenomena sarjana menganggur hari ini bukan lagi sekadar cerita pribadi, tapi sudah menjadi kenyataan yang dialami banyak orang. Kita sering dengar keluhan anak muda yang sudah lulus kuliah, tapi sulit mendapatkan pekerjaan. Ironisnya, justru mereka yang berpendidikan tinggi kerap dipandang sebagai "beban" bagi perusahaan. Alasannya klise: gaji dianggap lebih mahal, kemampuan terlalu teoritis, bahkan disebut overqualified. Akibatnya, banyak lowongan lebih memilih lulusan SMA/SMK yang dianggap lebih praktis dan murah.
Namun masalahnya tidak hanya di kota, di desa/masyarakat pun lulusan sarjana sering kurang diterima. Mereka dipandang belum berpengalaman, sehingga jarang diberi tanggung jawab. Padahal, bagaimana mungkin anak muda bisa berpengalaman bila kesempatan praktik saja tidak pernah dibuka? Generasi tua kadang hanya berbagi cerita tentang pengalaman masa lalu, tapi enggan memberikan ruang nyata untuk mencoba dan belajar dari kegagalan.
Inilah ketimpangan yang sedang kita hadapi. Pendidikan tinggi digadang-gadang sebagai kunci masa depan, tetapi dalam praktiknya justru dipinggirkan. Perusahaan mencari tenaga murah, masyarakat desa memilih yang sudah "terbiasa bekerja", sementara para sarjana muda terjebak di tengah: dianggap pintar, tapi tidak diberi peran.
Padahal, bila mau jujur, sarjana bukan sekadar gelar di atas kertas. Mereka adalah harapan bangsa yang seharusnya membawa ide baru, inovasi, dan semangat perubahan. Sayangnya, ruang itu sering tertutup oleh prasangka. Jika pola ini terus dibiarkan, yang kita rugikan bukan hanya generasi muda, melainkan masa depan pembangunan itu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI