Lihat ke Halaman Asli

Kekerasan terhadap Anak: Ketika Anak Tak Mampu Bicara

Diperbarui: 5 September 2017   11:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

indonesiaunicef.blogspot.com

Mendengar kata 'kekerasan terhadap anak' pasti membuat anda berpikir mengenai kekerasan berbentuk fisik yang menyebabkan seorang anak mengalami memar atau luka. Atau mungkin anda terpikir dengan pelecehan seksual yang sampai hari ini masih terjadi di Indonesia. Bahkan di kota besar. Benarkah kekerasan terhadap anak hanya terdiri dari dua jenis kekerasan tersebut? Apakah kekerasan terhadap anak merupakan satu topik yang perlu diperhatikan? Dan mengapa masih ada kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia?

KEKERASAN TERHADAP ANAK DI INDONESIA       

Definisi dari kekerasan terhadap anak menurut WHO adalah segala bentuk tindakan yang menyakitkan secara fisik ataupun emosional, pelecehan seksual, penelantaran, eksploitasi, komersial dan lainnya yang dapat memberikan kerugian yang nyata atau potensial pada kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, dan dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kekerasan pada anak tidak hanya terpaku pada kekerasan fisik dan pelecehan seksual. Bahkan tekanan emosional yang dapat mengganggu fungsi anak sudah dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan pada anak.

Kekerasan pada anak dapat terjadi dikarenakan beberapa faktor. Menurut KOMNAS Perlindungan Anak tahun 2006, yang dapat menjadi pemicu adalah kekerasan dalam rumah tangga dimana anak seringkali menjadi sasaran kemarahan orangtua, disfungsi keluarga yang ditandai dengan orangtua yang tidak berperan seperti seharusnya, adanya tekanan ekonomi, dan pandangan yang keliru mengenai peran anak dalam keluarga dimana orangtua cenderung mengasuh anak seenaknya karena anak dianggap tidak tahu apa-apa dan tidak memiliki 'kekuatan'. Kekerasan pada anak sendiri juga dapat dipicu dari media, seperti televisi.

Kekerasan yang dilakukan pada anak dapat menimbulkan dampak yang berkepanjangan dan memberikan efek negatif dalam tumbuh kembang anak tersebut. Kerugian yang dapat dialami seorang anak tidak hanya dari sisi fisik tetapi juga psikologis. Tumbuh kembang anak dapat terganggu, anak memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi di usia muda, dan anak dapat mengalami trauma yang tidak dapat hilang dengan mudah. Hal ini, akan berakibat buruk bagi Indonesia karena calon penerus bangsa memiliki mental yang terganggu.

Kekerasan pada anak merupakan topik yang cukup penting untuk dibahas. Kekerasan pada anak sendiri termasuk dalam bagian SDGs atau Sustainable Development Goals yang sama-sama ingin dicapai Indonesia. Kenyataannya, angka kekerasan pada anak masih tinggi di Indonesia. 

Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia di triwulan 4 tahun 2013 sendiri menyebutkan pada tahun 2012 terdapat 1051 anak yang menjadi korban kekerasan, dan 436 kasus diantaranya adalah kekerasan seksual. Bahkan kasus bullying anak di sekolah mencapai 40% dan yang dilaporkan hanya sekitar 32%. Angka terbaru masih cukup sulit untuk didapatkan dikarenakan banyaknya kasus kekerasan yang tidak dilaporkan, terutama kasus yang terjadi dalam rumah tangga.

Pemerintah sendiri sudah melakukan berbagai intervensi untuk menangani tingginya kasus kekerasan pada anak. Intervensi terdiri dari pemberian akses pelayanan kesehatan untuk anak korban kekerasan. Akses ini bisa didapatkan dari puskesmas hingga di rumah sakit rujukan. Pelayanan yang diberikan pun meliputi tiga aspek, yaitu aspek medis (pemeriksaan fisik dan penunjang), mediko legal (visum et repertum), dan psikososial (rumah aman). Tidak hanya pelayanan kuratif, pemerintah juga sudah meningkatkan upaya promotif dan preventif pada masyarakat. Penyuluhan diberikan mengenai dampak kekerasan pada anak  terhadap tumbuh kembang anak secara fisik maupun psikologis.

Pertanyaannya adalah kenapa kasus kekerasan pada anak masih ada setiap tahun bahkan cenderung meningkat?

Dijabarkan dalam Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015, bahwa program penanganan kekerasan pada anak bukanlah program prioritas. Dukungan dan komitmen pemerintah daerah juga cenderung berkurang setiap tahunnya. 

Dapat dilihat dari anggaran yang belum memadai dan pelatihan tenaga kesehatan untuk menangani kekerasan pada anak yang hanya diikuti dokter saja. Padahal pelatihan ini ditujukan pada tenaga kesehatan lainnya. Upaya yang terlihat cukup baik hanya penambahan jumlah puskesmas yang dapat menangani kasus kekerasan pada anak. Namun, penambahan ini tidak diikuti dengan anggaran yang memadai. Pelaksanaan secara nyata juga masih kurang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline