Lihat ke Halaman Asli

Rendi Sugiri

Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta

Pelaku Kekerasan Seksual yang Tak Pandang Bulu

Diperbarui: 21 September 2023   14:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kekerasan seksual atau rudapaksa menjadi permasalahan kriminalitas yang belakangan ini mengintai masyarakat di Indonesia maupun seluruh dunia. Tindak kejahatan semacam ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia. Selain itu, dapat membuat trauma yang berat pada korban yang mengalami kekerasan seksual.

Kekerasan seksual adalah tindakan yang merendahkan, melecehkan dan menyerang terhadap tubuh orang lain yang berlatarkan nafsu organ seksual yang dilakukan dengan paksa dan membuat korban tidak mendapatkan persetujuan kebebasan yang berakibat pada fisik, mental, psikis dan menyebabkan kerugian secara sepihak.

Sampai saat ini perempuan masih menjadi objek utama dan banyak yang mengalami kekerasan seksual. Kekerasan seksual biasanya terjadi di lingkungan masyarakat hingga lingkungan pendidikan serta lingkungan keagamaan yang memanfaatkan situasi tersebut. Pelaku juga berasal dari berbagai lapisan masyarakat, baik aparatur negara maupun pemuka agama.

Perkembangan teknologi dan media sosial ikut berkontribusi terhadap maraknya kekerasan seksual. Kebebasan dalam berkomunikasi dan bermedia sosial juga memberikan ruang untuk pelaku dalam melancarkan tindakannya yang tidak etis.

Kasus kekerasan seksual atau rudapaksa dan pemerkosaan yang terjadi di Indonesia pada tahun 2021 yang cukup memprihatinkan yaitu kasus guru pesantren yang melakukan rudapaksa terhadap 12 santrinya hingga hamil dan melahirkan 9 anak.

Aksi bejat ini dilakukannya sejak tahun 2016 yang hanya untuk mencapai kenikmatan biologis. Pelaku melakukan aksinya di beberapa hotel dan apartemen. Pelaku melakukan persuasi dengan mengancam pada korban. Korban-korban tersebut merupakan santri yang masih anak-anak di bawah umur yang sudah pasti ada trauma. Para korban sudah melahirkan delapan bayi dan tiga masih dalam kandungan.

Atas aksi bejatnya, pelaku dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang kekerasan seksual terhadap anak. Selain itu, pelaku akan didakwa dengan pasal 81 ayat (1) dan ayat (3) juncto Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 KUHP yang ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara.

Pelaku juga melakukan eksploitasi anak yaitu memperkerjakan anak-anak yang menjadi korbannya diperkerjakan sebagai kuli bangunan untuk membangun pesantren di Cibiru. Anak-anak yang dilahirkan oleh korban juga diperkerjakan dengan pelaku untuk meminta dana kepada sejumlah pihak.

Maraknya aksi pelecehan dan kekerasan seksual menjadi isu penting yang harus diwaspadai. Utamanya para orang tua yang ingin menitipkan anaknya di pesantren. Alih-alih ingin anaknya menjadi pribadi yang baik dikemudian hari, malah mendapat tindak kriminalitas yang tidak mencerminkan sebuah sekolah keagamaan. Pengawasan pada anak yang sedang mondok di pesantren perlu dilakukan orang tua.

Dengan begitu, orang tua dapat memantau perkembangan anak. Juga mengecek kondisi mulai dari kesehatan fisik, mental, dan hal lainnya. Tindakan tersebut sulit dimaafkan teruntuk para orang tua korban. Terlebih dampak yang didapatkan korban atas aksi bejat tersebut yaitu, trauma yang berat.

Pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak-anaknya terutama tentang seksualitas atau biologi. Agar anak-anak paham dan waspada terhadap tindakan apapun yang mengarah pada pelecehan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline