Lihat ke Halaman Asli

Redwan Kurniawan

Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta

Ironi Pendidikan Indonesia: Guru Enggan Menyentuh Buku, Apalagi Muridnya

Diperbarui: 3 Mei 2024   13:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

: ,

"Seharusnya, guru dan siswa adalah orang yang paling akrab dengan buku. ... Tapi nahas, guru dan siswa dalam pendidikan kita justru menampilkan kondisi sebaliknya. [Mereka] ... justru menjadi kalangan yang paling asing dengan buku," tulis Naufalul Ihya Ulumuddin mengawali artikelnya di Terminal Mojok. Artikel tersebut, yang mengungkapkan ironi pendidikan Indonesia, menunjukkan fakta bahwa guru dan siswa di sekolah-sekolah Indonesia enggan untuk memberdayakan diri membaca buku.

Menurut Naufalul, terdapat beberapa alasan mengapa para guru dan siswa enggan membaca buku. Bagi seorang guru, mereka sudah terlalu sibuk dengan berkas-berkas akademik, sehingga tak menyempatkan waktu mereka untuk membaca buku. Berikutnya, bagi siswa, alasan mereka enggan menyentuh buku karena tak sempat. Mereka telah dibebani tugas, pekerjaan rumah, dan kegiatan lain, sehingga mereka tak terpikirkan untuk membaca.

Sebagai seorang guru, terlebih guru sejarah cum penulis, artikel Naufalul memantik pertanyaan dalam benak saya. Apa benar guru dan siswa benar-benar enggan menyentuh buku dalam dunia akademik mereka? Menjawab pertanyaan ini, membuat saya harus melihat realita yang saya alami sehari-hari.

Mengenai pernyataan "guru dibebani berkas-berkas akademik," saya bisa katakan bahwa itu tidak berlaku secara keseluruhan. Melihat rekan sesama guru yang menjadi partner kerja saya, saya bisa katakan bahwa hanya beberapa guru, terutama mereka yang merangkap jabatan sebagai wakil kepala sekolah (wakasek) yang benar-benar sibuk. Selebihnya, mereka memiliki banyak waktu luang.

Mengapa mereka enggan membaca buku? Saya menduga, mereka tidak menyentuh buku karena melihat buku bukan menjadi kebutuhan utama mereka sebagai seorang guru. Bagi mereka, tugas guru hanya mengajarkan apa yang mereka ketahui, terutama informasi yang bersumber dari buku paket. Mereka hanya akan menambahkan informasi dari luar buku paket, jika memang dirasa memerlukannya. Selebihnya, mereka berpaku pada buku tersebut.

Menghabiskan waktu luang mereka di ruang guru, rekan kerja saya menggunakannya dengan browsing media sosial melalui gawai mereka. Terkadang, ada beberapa guru yang menonton serial dan film dari situs streaming. Seorang guru, yang merupakan senior di tempat saya mengajar, menghabiskan waktu dengan membaca manga dari pagi hingga sore.

Lalu, bagaimana dengan siswa? Bisa dikatakan, mereka juga berpikiran sama seperti para guru. Mereka menghabiskan waktu istirahat mereka dengan bermain gim, bercengkrama dengan sesama siswa, atau makan ke kantin. Tak banyak dari mereka yang benar-benar pergi ke perpustakaan untuk membaca.

Di sekolah tempat saya mengajar, sebagai contoh, fasilitas perpustakaan yang dimiliki dapat dikatakan nyaman bagi para pembaca. Namun, ketiadaan waktu istirahat, seperti yang diungkapkan Diaz Robigo dalam Terminal Mojok, serta ketiadaan keinginan untuk bercengkrama dengan buku, membuat mereka enggan menyentuhnya.

Meski belakangan ini, sekolah gencar menggalakkan kegiatan literasi setiap minggu, ketiadaan minat akan buku, baik dalam diri siswa maupun guru, membuatnya menjadi kegiatan yang hanya sepintas lalu. Guru hanya memberikan materi maupun tugas yang diminta, seperti membaca buku di perpustakaan atau menonton video, untuk dikerjakan para siswa, sementara siswa, dengan perasaan setengah hati, mengerjakannya sebagai formalitas belaka. Pada akhirnya, budaya literasi dalam sekolah tidak terbentuk optimal.

Dapat dikatakan, keengganan para guru dan siswa menyentuh buku tidak hanya karena "tidak sempat", tetapi juga karena "tidak tergugah" dan "tidak ingin". Mereka masih belum merasa buku sebagai hal yang penting untuk meningkatkan kemampuan literasi, pengetahuan, serta menggenjot nilai dan potensi diri. Bisa dikatakan, buku masih berada di pojok sepi, atau mungkin, kalau ia berada di perpustakaan, dalam rak-rak buku, terabaikan dan ditutupi debu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline