Penulis : Redri M Pasha
Urgensi Pencabutan Undang-Undang Kehutanan dan Pembangunan Kerangka Hukum Baru yang Berkeadilan
Kekayaan alam hutan Indonesia merupakan anugerah yang seharusnya dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan kondisi yang bertolak belakang. Meskipun telah ada kerangka hukum yang mengatur, termasuk Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), Indonesia terus dilanda krisis lingkungan dan sosial yang serius. Laju deforestasi yang mengkhawatirkan dan konflik agraria yang tak berkesudahan menjadi indikator utama kegagalan tata kelola hutan. Berdasarkan data, deforestasi rata-rata mencapai 2.01 juta hektare per tahun antara tahun 2017 hingga 2023, dan pada pertengahan tahun 2024, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) telah membakar setidaknya 115 ribu hektare.
Laporan ini menggarisbawahi kegagalan sistemik yang terkandung dalam UU Kehutanan dan regulasi turunannya, khususnya perubahan yang dibawa oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Analisis yang disajikan melampaui kritik parsial terhadap pasal-pasal tertentu, berfokus pada akar permasalahan fundamental yang membuat kerangka hukum saat ini tidak lagi relevan atau efektif dalam mewujudkan keadilan sosial dan kelestarian ekologis.
Dekonstruksi Paradigma Hukum
Warisan Kolonial dan Kontradiksi Konstitusional Asas Domein Verklaring: Akar Kolonial dalam Regulasi Modern Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinilai sebagai produk hukum yang melanggengkan warisan kolonial dan menganut asas domein verklaring, sebuah doktrin hukum yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1870. Asas ini menyatakan bahwa negara berhak atas semua tanah yang tidak bersertifikat. Dalam praktiknya, konsepsi hukum ini menjadikan negara sebagai "super landlord" yang memonopoli sumber daya hutan, bukan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan untuk memfasilitasi investasi swasta.
Paradigma ini, yang berakar pada sistem agraria kolonial, secara fundamental bertentangan dengan semangat konstitusional Indonesia. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa "bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Frasa "dikuasai oleh negara" seharusnya dimaknai sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur demi kepentingan publik, bukan sebagai hak kepemilikan mutlak yang memungkinkan negara bertindak seolah-olah pemilik tunggal hutan dengan mengobral izin, lisensi, dan konsesi skala besar kepada korporasi. Kontradiksi filosofis ini menciptakan sumber konflik yang abadi. Rantai kausalitasnya dapat ditelusuri secara jelas: asas domein verklaring memvalidasi monopoli negara atas hutan, yang kemudian mengarah pada pengabaian hak masyarakat adat dan lokal, memicu kriminalisasi, dan memfasilitasi deforestasi masif oleh korporasi. Masalahnya, oleh karena itu, tidak terletak pada implementasi undang-undang, melainkan pada filosofi dasarnya yang cacat sejak awal.
Kegagalan Mengakui Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat
Meskipun Pasal 67 UU Kehutanan secara nominal menyebutkan hak masyarakat hukum adat, perlindungannya tidak bersifat substantif. Pasal tersebut hanya mengakui keberadaan masyarakat adat "sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya" berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hal ini menempatkan pengakuan hak adat sebagai pengecualian yang bergantung pada persetujuan negara, alih-alih sebagai hak konstitusional yang melekat. Fenomena ini menciptakan paradigma "pengakuan selektif" yang justru memperparah konflik.
Meskipun terdapat upaya pemerintah untuk mengakui hutan adat---dengan sekitar 400.000 hektare hutan adat telah diakui hingga tahun 2025 ---jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan 11 juta hektare wilayah adat yang terdaftar di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan berada di dalam kawasan hutan. Mekanisme pengakuan yang ada, seperti yang diatur dalam Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan, tidak mencakup seluruh wilayah adat. Hal ini terbukti, misalnya, dalam kasus wilayah adat Kajang, di mana dari 23.000 hektare, hanya sekitar 300 hektare yang mendapat legalitas sebagai hutan adat. Kerangka hukum yang terbatas ini tidak menyelesaikan konflik historis, melainkan melegitimasi pengambilalihan sebagian besar wilayah adat, yang memicu konflik agraria dan kriminalisasi yang terus meningkat. Ketiadaan kerangka hukum yang holistik untuk pengakuan hak masyarakat adat, seperti Rancangan Undng Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) yang telah terkatung-katung selama 15 tahun , membuat UU Kehutanan menjadi alat untuk menyingkirkan masyarakat dari tanah leluhur mereka, alih-alih memberdayakan mereka sebagai penjaga hutan.
Kegagalan Fungsional
Krisis Sosial dan Ketidakadilan Agraria Konflik Tenurial dan Kriminalisasi Masyarakat Adat Rezim hukum kehutanan saat ini telah gagal melindungi hak-hak masyarakat, yang menyebabkan krisis sosial berskala luas. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadi 2.939 letusan konflik agraria antara tahun 2015 hingga 2023, yang mencakup area seluas 6.3 juta hektare dan berdampak pada 1.759 juta keluarga. Sebagian besar konflik ini terjadi di sektor kehutanan dan perkebunan, didorong oleh tumpang tindih klaim antara hak ulayat masyarakat adat dan izin konsesi perusahaan seperti Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang diberikan oleh negara.
Sebuah kasus di Desa Mumpa, Riau, menunjukkan pola yang merusak: perusahaan mendapatkan izin sepihak dari pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan, yang kemudian digunakan untuk menghancurkan lahan warga yang telah digarap puluhan tahun. Analisis menunjukkan bahwa kriminalisasi masyarakat adat bukanlah hasil dari penegakan hukum yang kaku, tetapi merupakan mekanisme sistematis untuk menegaskan kekuasaan negara dan korporasi dalam merampas wilayah adat. Sebagai contoh, kasus Bongku di Riau yang dipidana hanya karena menebang 20 pohon untuk menanam ketela menunjukkan bagaimana tindakan subsisten masyarakat yang bergantung pada hutan dianggap sebagai "perusakan hutan" dalam logika hukum yang ada. Di mana hukum menempatkan "pohon" dan "kawasan hutan" sebagai properti negara.
Logika ini memicu konflik yang masif dengan implikasi sosial yang parah, termasuk pelanggaran hak asasi manusia dan kriminalisasi terhadap pejuang hak hidup. Selama periode 2015-2023, KPA mencatat setidaknya 3.503 korban kekerasan dan kriminalisasi dari berbagai wilayah konflik agraria. Kriminalisasi yang dirasakan warga ini, yang sering kali melibatkan aparat bersenjata, juga menyebabkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Kegagalan Model Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dan Program Strategis
Meskipun pemerintah telah memperkenalkan program-program seperti Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan Perhutanan Sosial sebagai solusi, implementasinya seringkali tidak mampu memenuhi janji kesejahteraan yang dikampanyekan. Program-program ini dikritik karena lebih menguntungkan korporasi (seperti Perum Perhutani) daripada masyarakat lokal.
Dalam model PHBM, masyarakat direduksi menjadi "buruh" yang hanya menyumbangkan tenaga kerja. Kontribusi ini ditempatkan pada proporsi bagi hasil yang tidak adil---hanya 25% dari nilai produksi, padahal kontribusi tenaga kerja mereka hanya memiliki proporsi nilai sebesar 20% dari hasil produksi. Model ini juga menunjukkan bahwa peran masyarakat dalam pengamanan hutan adalah untuk tujuan keamanan perusahaan dengan biaya yang sangat minimal, karena biaya yang harus dikeluarkan perusahaan akibat pencurian dan perusakan hutan jauh lebih besar daripada imbalan yang diberikan kepada masyarakat. Program-program ini menciptakan "solusi semu" yang, alih-alih memberdayakan masyarakat sebagai pengelola yang berdaulat, justru mengintegrasikan mereka ke dalam skema produksi kapitalistik. Kondisi ini membuktikan bahwa masalahnya bukanlah ketiadaan program, melainkan filosofi kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, yang tercermin dalam regulasi kehutanan yang ada.
Hal serupa terjadi pada Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate, yang digagas untuk memperkuat ketahanan pangan. Analisis menunjukkan bahwa proyek ini menimbulkan dampak negatif yang signifikan, seperti hilangnya hak atas tanah ulayat, penurunan akses terhadap pangan tradisional, dan disorientasi sosial-budaya. Dampak negatif ini menunjukkan bahwa program pembangunan yang bersifat top-down, yang tidak melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat lokal, cenderung meminggirkan mereka dan memperparah ketidakadilan agraria.
Bab III: Kerusakan Ekologis sebagai Konsekuensi Langsung dari Cacat Hukum
Tren Deforestasi Pasca-UU Kehutanan
Meskipun salah satu tujuan dari penyelenggaraan kehutanan adalah menjamin kelestarian lingkungan , UU Kehutanan justru gagal secara fungsional dalam membendung laju kerusakan hutan. Data dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa dari tahun 2002 hingga 2024, Indonesia kehilangan 10.7 juta hektare hutan primer basah, yang menyumbang 34% dari total kehilangan tutupan pohon pada periode yang sama. Forest Watch Indonesia juga melaporkan bahwa deforestasi di Indonesia terus mengalami peningkatan, dengan deforestasi tahun 2023 mencapai 257.384 hektare, naik 26.624 hektare dari tahun sebelumnya.
Cacat hukum dalam regulasi kehutanan secara langsung memfasilitasi tren ini. Kebijakan yang berorientasi pada peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi telah mengesampingkan fungsi ekologis, sosial, dan budaya hutan. Contoh paling jelas adalah perubahan yang dibawa oleh UU Cipta Kerja, yang menghapus ketentuan kecukupan luas kawasan hutan sebesar 30%. Perubahan ini secara langsung membuka celah legal untuk konversi hutan. Lebih lanjut, penghapusan kewajiban menyediakan lahan kompensasi bagi penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan non-kehutanan semakin melonggarkan kontrol terhadap alih fungsi hutan. Rantai kausalitasnya sangat jelas: orientasi hukum yang profit-sentris menghasilkan regulasi yang longgar, yang pada gilirannya memicu deforestasi masif dan Karhutla, yang berujung pada bencana ekologis seperti banjir, longsor, dan kekeringan.
Studi Kasus: Ekspansi Perkebunan Sawit dan Kebakaran Hutan
Ekspansi perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan adalah studi kasus yang ideal untuk menunjukkan kegagalan kerangka hukum kehutanan. Sebuah kajian dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) menemukan bahwa sekitar 2.8 juta hektare lahan perkebunan sawit berada di dalam kawasan hutan, dan 65% di antaranya dimiliki oleh pengusaha. Keberadaan kebun sawit ilegal dalam skala yang masif ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.
Konversi hutan menjadi perkebunan monokultur ini tidak hanya menimbulkan dampak lingkungan yang buruk, tetapi juga memicu Karhutla dan mengancam habitat spesies endemik Indonesia seperti orangutan, harimau Sumatra, dan badak Jawa. Data deforestasi di Kalimantan, seperti yang dilaporkan oleh Auriga Nusantara, menunjukkan kerusakan habitat orangutan yang signifikan, dengan titik-titik deforestasi masif ditemukan dalam konsesi korporasi. Kondisi ini menunjukkan bahwa kerusakan ekologis bukanlah sebuah kecelakaan, melainkan hasil dari pilihan kebijakan yang secara terang-terangan memprioritaskan keuntungan investasi di atas keberlanjutan.
Celah Hukum dan Orientasi Kapitalistik dalam UU Cipta Kerja