Oleh: R.Budi Ariyanto Surantono (*)
"Gimana ya Bang, saya itu udah bekerja keras tanpa Pamrih, keluar biaya pribadi membantu orang lain. Tapi masih aja ada yang menuduh saya negatif", ungkap salah satu sahabat pejuang kemanusiaan sebut saja Bang Jaky.
"Ya memang begitulah Bang, fitnah, caci maki, prasangka buruk, tuduhan negatif adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan seorang pejuang kemanusiaan", jawab saya.
"Makin tinggi level perjuangan kita, makin besar dan tinggi pula level tuduhan negatif yang akan kita terima. Tapi itulah cara Allah untuk meninggikan derajat kita (dimata Allah)", jawaban saya kepada Bang Jaky yang sedang gusar.
Sebagai Pejuang Kemanusiaan saya sangat paham resiko dan kondisi yang sedang dialami Bang Jaky dan para pejuang sosial kemanusiaan lainnya. Mereka susahi payah berjuang. Namun niat baik seringkali tidak mendapatkan tanggapan baik.
Saya sendiri juga merasakan hal yang sama. Sejak 2011 menjadi pejuang kemanusiaan, saya juga merasakan seperti apa yang dirasakan pejuang kemanusiaan lainnya.
Jauh jauh hari sebelum terjun didunia sosial kemanusiaan saya konsultasi dengan beberapa Ustadz, Kyai dan para senior pengelola panti asuhan.
Hampir semua menyatakan "Jika ingin terjun di sosial kemanusiaan harus siap mental dengan fitnah, praduga jelek dan prasangka negatif dan ujian yang tidak pernah kita duga".
Bahkan seorang Kyai pemilik Pesantren Yatim bilang "nanti juga akan ketemu anak asuh yang kondisinya paling memprihatinkan, paling harus dikasihi namun anak itu tukang bikin ulah yang paling menjengkelkan dibanding anak yang lain. Disinilah mental dan kebijakan spiritual kita diuji", ujarnya.
Sepuluh tahun lebih menyelami kehidupan Sosial kemanusiaan akhirnya sayapun paham bahwa itulah "cara Allah" memberikan pahala dan menaikkan derajad kita dihadapan Allah Swt.
Kenapa dimata Allah, ya karena bisa saja kita akan dipandang rendah dimata manusia. Karena manusia tidak mampu memahami dan mengukur "kedalaman hati" kita.