Lihat ke Halaman Asli

Radikalisme dan Sel Tidur Semu

Diperbarui: 15 Desember 2023   19:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

bom indonesia

Selama satu dekade ini kita mungkin mulai jarang mendengar berita tentang penngeboman yang dilakukan menjelang Natal dan Tahun Baru. Padahal dua dekade sebelumnya atau sejak awal 200an, tiap tahun kita sering mendengar ancaman bom, menjelang atau pada saat perayaan Natal.

Yang fenomenal adalah kisah Riyanto, seorang anggota Banser NU yang sedang menjaga gereja Pantekota Eben Haezer Mojokerto. Hari-hari  menjelang Natal itu  (tahun 2000) kebetulan adalah bulan Ramadhan, tapi mereka dengan setia melakukan tugasnya. Saat menjaga, gereja itulah, seorang jemaat melihat sebuah bungkusan dekat pinyu dan melaporkannya pada banser. Segera setelah itu, Riyanto mengambilnya, memeluknya dan sembari berlari keluar. Saat berlari itulah bom meledak dan Riyanto tidak sempat melepaskannya.

Setelah itu ada beberapa bom besar di tanah air yang meledak menjelang Natal dan Tahun Baru.  Selain bom Bali yang fenomenal itu, yang meski tidak terjadi saat Natal dan Tahun Baru, namun melibatkan para turis asing dimana Amrozi dkk  menganggapnya sebagai kafir yang harus dibunuh. Saat itu tidak hanya turis mancanegara saja yang tewas tetapi juga para penduduk lokal yang bekerja di cafe itu.

Lalu kita mungkin ingat bom di Makassar yang terjadi menjelang Natal dan bom Natal di sekitar awal 2000 di Gereja Katolik di Jatinegara. Dan beberapa kisah pengeboman yang lain.

Bom-bom yang terjadi menjelang Natal ini memang terjadi pada dua dekade lalu, lalu seakan mereda pada dekade kemarin (2011-2020). Meski kita harus menghadapi bom Surabaya yang menurut saya sangat fenomenal karena melibatkan satu keluarga sebagai pelaku pengeboman tiga gereja di wilayah Surabaya.

Masa landai tahun 2011 -2020, seakan menunjukkan para radikalis atau kaum terorris tiarap padahal tidak seperti itu, atau sering diistilahkan sebagai sel tidur. Mereka sejatinya tidak tidur, karena mereka terus menerus bergerak. Hanya saja mereka menyesuaikan dengan kondisi internal dan eksternal yang terjadi disekitarnya. Seperti yang terjadi di Surabaya adalah kejadian yang sangat mengagetkan karena selama ini Surabaya dikenal sebagai kota yang egaliter. Artinya di tengah suasana kota yang menyenangkan dan menggairahkan, masih ada saja anggota masyarakat yang bertindak radikal. Ini menunjukkan bahwa sel sel itu tidak tidur. Mereka hanya tidur secara semu saja.

Karena itu penguatan kebangsaan harus kita lakukan sedini mungkin. Dengan memperkuat penguatan kebangsaan kita bisa mendeteksi dengan cepat sel-sel tidur radikalisme yang akan bangkit.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline