Lihat ke Halaman Asli

Koran Pagi Ini

Diperbarui: 18 November 2017   17:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="pinterest.com/pin/40391727884745654/"][/caption]

KORAN PAGI INI

Ramdhani Nur

Ini pasti sudah jam delapan lewat. Gulungan koran pagi ini saya tilik sudah teronggok di depan teras rumah. Kali ini lemparannya jitu. Pot kaktus yang saya pajang di dinding masih kokoh berdiri. Tukang koran itu mungkin belajar banyak dari penjelasan saya tentang sebuah perjalanan panjang akan  pentingnya menghargai proses kehidupan--yang tentu saja saya analogikan sekenanya dengan pot kaktus itu--bahwa pot yang terjatuh dan merusakkan tangkai kaktus bukanlah cara orang menghargai hidup. Agak mengada-ada memang. Hanya saja itu ada hasilnya. Termasuk saat saya menjelaskan soal waktu. Sederhana saja. Saya jelaskan padanya dengan bersungguh-sungguh, bahwa koran pagi tidak lagi menjadi koran pagi jika dia hantarkan lewat dari jam sebelas. Sejak saat itu--dan sampai kini--gulungan koran itu tak pernah telat terlontar dari jam delapan.

Saya beringsut saja menuju teras. Ada kursi dan meja di dekat sana. Cuma tak ada kopi. Saya pun tidak terlalu peduli. Begitu pula soal berita-berita politik yang menghabiskan seluruh halaman muka koran. Saya tidak ambil pusing dengan segala kisruh dan kegaduhan yang terjadi belakangan ini, maka itu kehidupan di pagi saya menjadi santai. Saraf-saraf saya relaks semua. Sudahlah tanpa kopi masih dibikin pusing pula. Risiko yang begitu-begitu benar-benar sedang saya hindari.

Dalam koran yang berlembar-lembar itu, saya hanya mencari berita kriminal. Kasus apa saja. Saya telusuri tiap kolom satu persatu. Kalau tidak sedang mengangkat kasus heboh, berita-berita kriminal di koran itu benar-benar sangat sedikit. Dibanding kasus-kasus politik, kasus kriminal mestinya dapat porsi pemberitaan lebih banyak. Persoalan hidup lebih mudah mengundang orang berbuat kriminal.

Tentulah para pejabat dan politikus itu punya pula persoalan hidup. Bahkan tekanannya mungkin lebih tinggi. Namun saya berani bersumpah—sebagai pembaca berita kriminal—tak pernah muncul satu berita pun soal pejabat yang dipukuli masa karena kedapatan mencuri pisang dari kebun tetangga sebagai peredam bagi rengekan lapar anak-anaknya, atau hal-hal serupa itu. Itulah bedanya. Sebesar apapun persolaan hidup mereka, kecuali akhirnya benar masuk dalam berita kriminal, saya tak pernah begitu memedulikannya.

Empati saya tidak diobral. Tidak seperti kepada satu berita kriminal yang baru saya baca di halaman keenam ini. “Pergoki Suami Selingkuh, Ibu Muda Ini Membakar Rumahnya Sendiri”. Luar biasa! Dan biasanya kemudian saya mendecakkannya keras-keras. Kali ini pun begitu. Bahkan dilanjutkan dengan upaya saya menarik cangkir dan menyeruput kopi, lalu berakhir dengan gelengan kepala. Sialnya semua itu batal terlaksana. Tidak ada kopi hari ini di sini.

Di hari-hari lain saat saya menemukan kondisi ini, saya akan mudahnya berteriak agak lantang mengarah dapur: “Lasmi..., mana kopinya?”

Sayangnya, hari ini bukanlah hari-hari lain di luar itu. Meski saya berteriak lantang-lantang, Lasmi tak akan keluar dari tirai dapur.

Baiklah, saatnya sedikit sentimental. Saya tak sungkan menunjukkan ini. Lasmi adalah pusaran perasaan saya. Selama pusaran itu berputar, selama itu pula arus rasa saya bergerak. Seperti turbin dia membangkitkan hati saya. Dari situ saya bisa memahami bagaimana hati itu mudah sekali membahagiakan, pula melukakan.

Lasmi menciptakan keduanya. Lasmi pula yang paling mahir menciptakan kenikmatan dalam secangkir kopi. Tapi pagi ini tak ada kopi. Tak ada pula pertanyaan lembut darinya saat pagi-pagi sekali kutemukan tubuhnya melenggang: “Mau ditaruh di mana kopinya?” Kalau sudah begini saya mulai mudah untuk merinduinya. Wajar tentu. Terutama karena Lasmi itu adalah istri saya.

Istri yang luar biasa tepatnya. Di saat tertentu saya kadang menggumamkan keluarbisaannya itu sebagai kesialan. Ya, Lasmi adalah istri yang luar biasa sekaligus sial. Terutama karena bandingannya saya, maka Lasmi itu betul-betul istri yang sial. Usianya baru dua puluh dua saat dia anggap penolakan terhadap permintaan ayahnya itu sama saja dengan cara pemutus jalan menuju surga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline