Baru saja hari pertama Pelatihan oleh Dinas Kesehatan, saya mulai bosan. Bagaimana tidak, melihat tata nilai yang digunakan para fasilitator, yang nota bene adalah tenaga medis yang rata-rata bertitle panjang. Ternyata masih banyak dari mereka yang memiliki tata nilai bak manusia dewa. Kenapa begitu sulit menurunkan prevalensi HIV/AIDS? Tata nilai itulah sebabnya. Pemerintah dan instansi terkait jika bener-bener ingin menurunkan prevalensi harus mengubah cara berpikir mereka pada penyakit ini. Bagaimana hendak menghentikan penyebaran penularan HIV/AIDS jika mereka masih berkutat pada wacana bahwa: SEX itu TABU. Bicara Sex itu dosa. Waria itu ABNORMAL. LSL itu haram. WPS itu perusak rumah tangga orang. Kondom itu tanda ketidaksetiaan. Kondom itu penghalalan seks bebas. Masturbasi itu ga boleh. Ini tentang kehidupan yang lebih besar di luaran sana. Tentang mereka yang tidak bisa merasakan kebahagiaan di usia muda karena terinfeksi. Tentang hidup seorang bayi yang terpaksa menelan ARV setelah dia lahir. Tentang cap buruk yang harus diterima sebuah keluarga oleh masyarakat. Tentang masa depan orang banyak. Jika pemerintah benar-benar ingin mengubah cara berpikir mereka tentang memandang masyarakatnya, saya yakin prevalensi bisa diturunkan. Luntur teori Gunung Es, karena pemerintah sudah berhasil menyelesaikan perdebatan dalam system mereka yang buruk. Teori Gunung Es selalu menjadi kambing hitam dalam memaklumkan ketidakberhasilan program pemerintah. Lama-lama menjadi terdengar membosankan di telinga. Ketika tidak ada revolusi kebijakan pencegahan penularan, selamanya akan terjadi penyebaran infeksi tanpa henti. Kebijakan pemerintah selama ini terlalu terfokus pada wanita. Wanita selalu menjadi korban dalam setiap kebijakan pencegahan. Contoh kasus, zero survey yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan di lokalisasi. Sejauh mana sih efektivitasnya jika dibandingkan zero survey di korporasi-korporasi besar. Korporasi raksasa di Bontang ada tiga; PT. Pupuk Kaltim (penghasil pupuk), PT. BADAK NGL (penghasil gas alam), PT.INDOMINCO (produksi batu bara). Setiap korporasi memiliki ribuan buruh yang merupakan pendatang dari dalam/ luar pulau Kalimantan. Mereka bekerja di Bontang dengan atau tanpa pasangan (istri/pacar). Tidak sedikit dari mereka yang terpaksa jajan ke lokalisasi, panti pijit plus-plus atau kos-kos terselubung demi menjawab kebutuhan biologis mereka. Akan tetapi, fokus kebijakan pemerintah justru hanya ditujukan kepada wanita, yang sebenarnya adalah korban. Wanita selalu menjadi objek kebijakan pemerintah karena dianggap tidak memiliki pendidikan dan factor ekonomi yang cukup untuk menghindarkan diri dari epidemic. Beberapa dari wanita pekerja seks justru mengakui harus menerima tamu tanpa kondom karena mengganggu kenikmatan tamu tersebut. Sekarang bagaimana jika logikanya dibalik? Bagaimana jika penyebab dari sulitnya mengatasi masalah ini adalah tingginya pendidikan dan sumber daya ekonomi dari kaum laki-laki, namun rendahnya kemampuan mengontrol “kontol” mereka. Ini bukan perdebatan gender. Hanya saja saya mencoba menelaah kelatahan pemerintah melakukan program berulang yang tidak tepat sasaran sama sekali. Kalau mau menumbangkan pohon, jangan pangkas rantingnya tapi robohkan akarnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI