Cahaya sang surya meredup bersembunyi dibalik Bumi, suhu dingin menyapa pekarangan rumah sederhana di Desa Pinggir, Bengkalis, Riau.
Suparto, seorang penduduk desa yang berprofesi sebagai petani kebun, terbangun oleh suara dahan patah di luar dinding rumahnya, Jantungnya berdetak kencang, apakah itu ?
Dari kegelapan, siluet sosok bertubuh dan berkuping besar muncul perlahan, ternyata gajah Sumatra yang mencari makan.
Sosok besar itu mendekat, tanaman yang berada di ladang apakah akan dirusak ? Suparto menahan napas - apakah malam ini ia dan keluarga akan tersayat luka dan kerugian?
Dulu, perjumpaan seperti itu berarti benturan, teriakan , dan lemparan petasan. Kebun sawit muda, tanaman pangan, bahkan rumah kadang jadi sasaran hewan besar itu.
Tapi malam itu, ketika ia mendekati ladang, tak tampak jejak-jejak seperti dulu, tidak seperti yang ia takutkan. Ada beda, terasa perubahan.
Cakrawala masih melambai-lambai ketika Suparto duduk di serambi rumahnya. Tertampak, barisan bibit kopi, matoa dan durian tersusun rapi.
Dirinya masih ingat ketika tim dari Rimba Satwa Foundation dan PT Pertamina Hulu Rokan datang dan menawarkan sebuah ide agar gajah bisa harmoni dengan manusia.
Ide itu berupa menanam tumbuhan yang gajah tidak suka, tetapi tetap memberikan nilai ekonomi bagi warga.
Pandangan ini juga mengenai membiarkan gerombolan gajah lewat koridor vegetasi alami, dan manusia dapat menanam di lahan yang lebih aman.