Lihat ke Halaman Asli

Inferioritas Berbahasa dalam Kehidupan Bermasyarakat

Diperbarui: 17 Januari 2020   10:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi percakapan lintas bahasa (Creative-Touch) via Kompas.com

*Disclaimer: tulisan ini hanya ceracauan, sama sekali bukan sesuatu seperti karya ilmiah.

Saya banyak melamun setiap berada di perjalanan, tak terkecuali perjalanan singkat menuju tempat indekos. Malam kemarin agak berbeda dari malam-malam sepulang kerja yang sudah lalu. Pengemudi ojek online yang mengantarkan saya pulang, menyapa dengan sebutan "Mbak".

Bagi saya yang belum begitu lama di Jakarta, itu adalah kejadian langka. Paling sering saya disapa dengan "Kak". Oh iya, kadang-kadang saya juga dipanggil "Bu", meski saya belum "ibu-ibu". Namun, tidak masalah, itung-itung impas karena saya sering menyapa para pengemudi dengan sebutan "Pak", meski mereka belum "bapak-bapak".

Bahasa adalah hal yang cukup sensitif bagi saya. Bukan semata-mata karena saya sempat belajar linguistik di kampus dulu, tapi karena pada dasarnya saya suka mengamati.

Terkadang saya suka berbicara, tapi kalau diminta memilih, saya lebih sering merasa jauh lebih gemar mendengarkan. Mungkin kalau ditelisik lagi, semua itu karena saya suka mengamati manusia.

ilustrasi: pixabay.com

Sementara saya pribadi selalu merasa seperti alien di semesta ini. Kita ini, manusia, begitu bukan? Selalu merasa yang tidak kita miliki, terlihat lebih menarik, lebih baik.

Kembali ke prolog di atas, sapaan "Mbak" memang istimewa bagi saya. Di kampung saya, di Gunungkidul atau ketika di kotanya, Yogyakarta, sapaan "Mbak" sangat umum dan biasa. Namun, karena saya mendengarnya di Jakarta, rasanya jadi berbeda.

Alaminya saya pun biasa menyapa dengan kata tersebut. Namun, seingat perasaan saya, di lingkungan saya sekarang lebih umum menggunakan kata "Kak". Sehari-hari saya pun ikut-ikutan karena entah bagaimana lama-lama saya merasa "Mbak" terdengar tidak umum, terdengar berbeda, dan terdengar agak tidak sesuai.

Lalu tiba-tiba satu malam saya disapa "Mbak" oleh pengemudi ojek online yang masih muda dan berpenampilan rapi membuat saya tercenung. Mungkin karena kerinduan, mungkin juga seperti dilempar kembali ke akar, disapa begitu meski oleh orang yang tidak saya kenal bisa menimbulkan secercah kehangatan.

Saya merasa bertemu saudara di ibu kota, tempat saya baru-baru ini hidup merantau. Untuk beberapa saat, saya merasa takjub sendiri. Seolah baru tersadar bahwa rupanya dampak bahasa, setidaknya yang saya alami, terasa begitu hebatnya. Bahasa membuat orang asing terasa seperti saudara.

Malam itu, untuk sesaat saya merasa kembali menjadi diri sendiri sewaktu berkata "Makasih ya, Mas" dan bukannya "Makasih ya, Kak".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline