Saya akan menceritakan sedikit pengalaman saya menolak bekerja di gudang pengolahan limbah milik paman. Bagi sebagian Anda, mungkin cerita ini biasa saja. Tapi, ada beberapa pertimbangan yang menurut saya menjadi penting untuk menghindari bekerja bersama keluarga.
Namun, dengan sulitnya mencari lapangan pekerjaan, saya sangat memahami ketika Anda tidak banyak pilihan untuk bekerja dengan siapa. Toh, keputusan tetap ada di tangan Anda.
Bekerja di bisnis milik saudara merupakan fenomena umum di banyak negara, termasuk Indonesia. Sudah menjadi hal yang lumrah, apalagi dengan kondisi ekonomi yang sulit.
Meskipun relasi kekeluargaan dapat menciptakan rasa saling percaya yang tinggi, fenomena ini menyimpan tantangan manajerial, emosional, dan organisasional yang sering terabaikan.
Di tengah tumbuhnya kewirausahaan keluarga di Indonesia, banyak profesional dihadapkan pada pilihan untuk terlibat dalam bisnis milik saudara.
Namun, meskipun terdengar menguntungkan karena adanya trust awal, secara personal dan akademik, saya memiliki cukup alasan untuk kurang menyukai terlibat langsung sebagai pekerja di perusahaan milik keluarga atau saudara.
Sebelum saya melanjutkan alasan saya, Anda mungkin tertarik dengan data berikut.
Kompas.com (18/4/2022) menyebut hasil riset Daya Qarsa yang menemukan sebanyak 70 persen perusahaan keluarga di Indonesia tidak mampu bertahan hingga generasi kedua. Sebanyak 13 persen perusahaan keluarga tersebut yang bertahan sampai di generasi ketiga.
Hubungan Keluarga dan Konflik Peran
Keterlibatan profesional di lingkungan bisnis keluarga sering dianggap strategis, dengan alasan solidaritas, kepercayaan, dan kesinambungan usaha.