Di sebuah kompleks bernama Cluster Harmony---yang entah bagian mana dari namanya yang benar-benar mencerminkan kenyataan---tinggallah seorang wanita bernama Bu Rani. Ia baru saja membeli rumah mungil minimalis dua lantai, lengkap dengan kanopi baja ringan dan cat eksterior warna salem yang katanya "Warna tahun ini menurut Pinterest."
Setiap pagi, ia berdiri di teras rumahnya dengan daster motif floral dan alis permanen yang tak pernah lengser, menyapu halaman sembari menyapu pandangan ke kiri-kanan. Tak ada burung pun yang berkicau lebih awal dari Bu Rani, terutama saat ia memulai ritual wajib: bertegur sapa paksa.
"Lho Bu Eni, kok ngga pernah kelihatan, ya? Jangan-jangan rumahnya angker?" ucapnya pada suatu pagi, disusul tawa yang hanya lucu bagi dirinya sendiri.
Bu Eni, tetangga sebelahnya, hanya tersenyum tipis dari balik pagar rumah. Tak lebih dari lima detik, ia kembali masuk dan menutup pintu dengan tenang. Sebuah tindakan yang di mata Bu Rani adalah deklarasi perang dingin.
"Orang aneh. Hidup kok kayak di dalam gua," gerutu Bu Rani sambil mengetik pesan di grup WhatsApp RT: "Tetangga sebelah makin hari makin tertutup. Jangan-jangan ada masalah ya? Semoga bukan karena kita terlalu peduli. Hahaha."
Guyub bagi Bu Rani berarti tahu siapa beli galon di mana, siapa yang baru berantem malam minggu, dan siapa yang tak balas salam di jalan. Ia meyakini tetangga harus saling terbuka---terutama isi rumah dan isi kepala.
Sementara itu, di rumah-rumah yang selalu tertutup rapi tirainya, tinggal keluarga introvert seperti keluarga Bu Eni. Mereka hidup tenang, sesekali terdengar suara musik lembut dari dalam rumah, atau tawa kecil saat menonton film bersama.
Bagi mereka, bertetangga bukan soal seberapa sering bertemu, melainkan seberapa nyaman bisa saling menghormati ruang. Sesekali, Bu Eni akan duduk di taman kecil bersama tetangga lainnya yang juga senyap---mereka saling berbagi senyuman dan teh hangat, lalu pulang tanpa obrolan yang meletihkan.
Bu Rani tidak bisa menerima itu. "Katanya manusia makhluk sosial. Lha kok malah antisosial?" katanya keras-keras di depan warung, berharap ada yang menyahut, meski seringnya hanya dijawab dengan gumaman atau senyum setengah hati.
Ia mulai menyebar opini-opini penuh rasa ingin tahu palsu, "Katanya suaminya tuh pendiam banget, jangan-jangan bukan suami sebenarnya? Hihi."
Namun dunia seperti tahu caranya menampar dengan halus. Suatu hari, saat Bu Rani mengadakan arisan akbar di rumahnya dengan tema "Glamour Neighbor Party", ia mendapati hanya setengah dari undangan yang hadir. Selebihnya---termasuk keluarga introvert---lebih memilih ikut sesi meditasi bersama di rumah Pak Arman, tetangga yang dikenal pendiam tapi selalu tenang.