Lihat ke Halaman Asli

Bimo Rafandha

Blogger. Storyteller.

Berdamai dengan Covid-19 ala Kompasianer Palembang dan Unika Musi Palembang

Diperbarui: 4 Mei 2020   11:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri.

Pernah nggak ngerasa cemas ketika mendengar satu berita tentang Covid-19? Lalu merasa harus update tiap hari biar nggak ketinggalan berita?

Sejujurnya, aku demikian. Ketika kasus Covid-19 merebak di Tiongkok pertama kali, aku mulai cemas. Dan puncaknya, ketika masuk ke Palembang, kecemasan itu makin menjadi. 

Bukan tanpa alasan sebenarnya. Papa dan Mama memiliki kerjaan yang berhubungan dengan banyak orang. Dan mau nggak mau beragam pikiran negatif muncul.

Nah, tadi siang, aku baru tahu ternyata apa yang aku rasain ini adalah salah satu bentuk FOMO (Fear of Missing Out). Penjelasan itu kuterima melalui acara web seminar dengan tajuk Berdamai dengan Covid-19 yang diselenggarakan oleh Kompasianer Palembang yang berkerja sama dengan Prodi Psikologi Universitas Katolik Musi Palembang. Seminar ini diadakan pada tanggal 3 Mei 2020 pukul 13.00-15.00 dan dikomandoi oleh Diana Putri Arini, M.A,M.Psi, Psikolog (Dosen Psikologi dan Praktisi Psikologi).

Dok. IG Kompal.

Acara dibuka dengan para peserta memberikan concern mereka mengenai keadaan Covid-19 sekarang melalui tulisan di WhatsApp. Selanjutnya, pembahasan mengenai FOMO ini dilanjutkan melalui Zoom Meeting agar pemberian materi jadi lebih terarah.

Dan rupa-rupanya, benar sekali. Aku mengalami FOMO. Bisa dikatakan bahwa FOMO adalah tingkah laku cemas berlebihan sehingga mengkonsumsi segala informasi dengan berlebihan pula. Sikap ini memberikan dampak yang ternyata merusak bagi diri kita sendiri.

Contohnya saja nih, coba lihat orang-orang yang berjibun memborong masker atau hand sanitizer. Belum lagi penolakan jenazah yang positif corona. Kebanyakan artikel-artikel tersebut sudah melalang buana di media masa. Rasanya nambah bikin cemas!

FOMO sendiri juga dapat dijelaskan secara ilmiah loh. Hal ini disebabkan oleh otak manusia yang memiliki karakteristik seperti plastik atau bahasa kerennya Neuroplasticity. 

Nah, karena karakteristiknya seperti plastisin yang menyerap segala informasi, otak kita beradaptasi hingga menghasilkan perubahan fisik maupun pikiran kita yang mempengaruhi tindakan kita ke depan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline