Lihat ke Halaman Asli

Fenomena Penolakan Toko Berjejaring di Sleman, Yogyakarta

Diperbarui: 2 September 2015   14:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="spanduk penolakan minimarket"][/caption]Tidak bisa dipungkiri, strategi pemasaran minimarket (seperti yang ditulis pak Leonardi) sangat jitu. Walau dibangun di sudut-sudut permukiman ada saja pembelinya, ramai pula. Mungkin hal inilah yang menjadi pemancing munculnya minimarket-minimarket baru di sudut maupun tengah kampung.

Tak terlalu dipersoalkan bila minimarket yang dibangun adalah milik dan merk perorangan, tapi bila yang berdiri adalah toko berjejaring atau toko waralaba maka itu menjadi hal yang berbeda. Sangat banyak kasus penolakan toko berjejaring oleh warga di wilayah Sleman, dengan alasan toko berjejaring belum memperoleh ijin usaha dari pemerintah dan belum ada ijin pendirian dari warga kampung setempat.

Seperti yang terjadi di Dusun Corongan, Maguwoharjo, Depok Sleman. Di dusun ini, tepatnya di jalan KH. Muhdi, sebenarnya sudah ada sebuah toko berjejaring yang siap beroperasi tapi karena penolakan warga setempat, toko tersebut mangkrak. Salah satu penolakan dilakukan dengan pemasangan spanduk (lihat gambar utama).

Informasi yang dilansir dari KR Jogja, dahulu di sekitar lokasi toko berdiri rumah makan padang. Namun beberapa waktu terakhir rumah makan tersebut tutup dan muncul aktivitas pembangunan di tempat itu. Aktivitas pembangunan dilakukan siang malam. Pahitnya, secara tiba-tiba muncul papan salah satu toko berjejaring populer. Warga merasa tidak pernah diajak musyawarah. Mereka menduga ada praktek penyalahgunaan ijin di tempat tersebut.

[caption caption="Indomaret di jalan KH Muhdi"]

[/caption]

Setelah itu muncul kasus serupa di Jalan Raya Tajem Dusun Panjen, Maguwoharjo, Depok Sleman. Tak seberuntung warga Corongan yang berhasil memasang spanduk penolakan, dan masih terpasang hingga kini. Spanduk warga Panjen sudah terlepas keesokan harinya.

Mudjadi, warga setempat yang menolak toko berjejaring menyatakan kepada KR, "Kita pasangnya dua. Satu di perempatan Tajem arah Stadion Maguwoharjo itu. Satunya di depan toko. Malam kita pasang, pagi harinya sudah tidak ada. Kurang tahu siapa yang melepas."

Warga merasa tidak diajak sosialisasi, tapi kemudian tersiar kabar bahwa sebenarnya sosialisasi pernah dilakukan dirumah Kepala Dukuh. Tapi yang diundang hanya sekitar 15 orang, itupun bukan para pedagang.

Penolakan juga terjadi di Dusun Krodan dan Pugeran, Maguwoharjo. Di wilayah ini, warga langsung menyemprot dua toko; di jalan Tasura (sudah beroperasi sebelum lebaran) dan di jalan Krodan yang masih dalam pembangunan (sekarang sudah dihentikan).

Menurut Widodo, salah satu warga kampung, dua lokasi minimarket/toko berjejaring tersebut memakai tanah milik pribadi atau perseorangan. Statusnya pun hanya hak guna tanah bukan ijin hak guna usaha.

Pendirian toko berjejaring tersebut juga sudah mempengaruhi omzet pedagang konvensional setempat, rata-rata omzet turun 300 ribu sampai 700 ribu, bahkan ada yang sampai lebih 1 juta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline