Lihat ke Halaman Asli

Solusi Islam untuk Individualisme

Diperbarui: 30 Oktober 2016   22:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Manakah yang lebih penting bagi kita, menghadiri pengajian di kelurahan atau pergi ke mall? mencuci mobil atau menjenguk tetangga kita yang sedang sakit? Membaca koran atau bertamu ke rumah tetangga sebelah pada hari minggu? Bermain-main (bersantai) dirumah atau  berkumpul dengan masyarakat sekitar setelah pulang kerja?

Mana yang akan menjadi prioritas bagi kita?

Jika kita melihat di lingkungan sekitar, anggap saja rumah kita di komplek/perumahan di suatu perkotaan. Apa yang kita temukan di luar rumah? Bagaimana keadaan lapangan yang ada di perumahan tersebut? Suasananya pasti, sepi. Jarang sekali kita temukan warga saling bertegur sapa satu sama lain. Saat pulang kerja pun, ketika melintasi satu rumah tetangga, dan kebetulan pemilik rumah berada di teras nya, kebanyakan orang tidak bertegur sapa. Padahal mereka adalah warga yang tinggal dekat dengan kita. kebanyakan orang enggan untuk melakukan interaksi seperti itu. layaknya orang asing saja. Tidak peduli dengan sesama warga di sekitar adalah sikap individualisme. And it was a negatif thing.

Ada suatu hal yang menyebabkan menurunnya sikap peduli itu. atau bisa di sebut memuudarnya sikap ‘gotong royong suatu masyarakat’. Saat ini, masyarakat di perkotaan mengalami kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial sendiri merupakan suatu keadaan ketidak seimbangan, terdapat pembedaan/benteng interaksi antara si kaya dan si miskin. Seperti contoh, hal ini juga yang menyebabkan seorang yang ‘highclass’ malas bergaul dengan orang biasa.

Perlu diketahui, individualisme telah merambah ke wilayah pedesaan. Penduduk di desa, mereka juga berlaku hal yang sama. Hampir tidak ada kegiatan gotong royong di kelurahan yang sebelum zaman modern seperti sekarang ini, hal gotong royong itu adalah rutinitas bagi mereka. Sekarang sudah tidak kita jumpai lagi.

Menurut pendapat saya, penyebab memuncaknya individualisme adalah perekonomian Indonesia yang tidak stabil dan kecanggihan teknologi. Apa alasannya?

Seseorang yang disibukkan oleh dunia kerja, dunia perkuliahan bagi seorang mahasiswa akan melakukan apa saja demi mendapatkan hal yang diinginkannya. Perekonomian suatu negara yang sangat tinggi persaingannya, memungkinkan seorang itu harus bekerja keras. Dia memerlukan pencapaian yaitu gaji untuk bertahan dalam hidupnya. Sehingga mereka terlibat beberapa pekerjaan yang harus diselesaikannya. Kesibukan itu semakin lama tidak semakin menurun. Yang ada, para pekerja semakin kewalahan karena semakin banyak tugas yang harus dikerjakannya. Tidak ada waktu untuk bercengkrama, bersantai ataupun bermalas-malasan. Tidak ada kebersamaan dengan orang-orang terdekat, bahkan tetangga yang juga masih saudara dengan kita. Bahkan seorang mahasiswa pun juga harus survive mengerjakan tugas-tugas kuliah yang semakin hari semakin banyak (ditambah).

Ini memang hal yang wajar. Tetapi, andai saja, perekonomian negara Indonesia stabil. Tidak akan ada orang yang bekerja keras banting tulang yang mengharuskan pergi pagi, pulang pagi. Bukan tidak mungkin hal ini akan berefek bagi yang pengangguran. Karena orang-orang terdekat tidak mau bersosialisasi dengan mereka, maka yang pengangguran pun bisa-bisa juga ikut malas untuk bersosialisasi. Atau mereka terlalu berkonsentrasi dengan pencarian lowongan pekerjaan, akhirnya juga bersikap tidak peduli dengan yang lain. Orang yang seperti ini biasanya memiliki sikap ketidakpedulian yang terlalu tinggi terhadap sesuatu yang bukan menjadi urusannya.

Bagaimana dengan teknologi yang canggih? Canggihnya teknologi akan mengurangi intensitas berkomunikasi dengan orang lain. Jika sebelumnya kita membeli peraboan rumah tangga, membeli peralatan dapur di pasar, atau membeli buku-buku di toko buku, maka sekarang banyak aplikasi google play yang memudahkan kita untuk bertransaksi dengan online. Padahal, jika kita saling tawar menawar di pasar, pasti ada peluang untuk saling mengenal antara si penjual dengan pembeli, kemudian menjadi langganan kios tersebut dan menjadi akrab. Lalu akan terbentuk sikap kepedulian masing-masing mereka. Tapi saat ini, semua bisa dikerjakan secara instan dengan gadget. Perlu diketahui, bahwa saat ini kita memasuki zaman serba instan. Seperti kuliah online, bisnis online, perpustakaan online, tetapi segala sesuatu nya terdapat sisi positif dan negatif dengan adanya kecanggihan teknologi ini.

Di dalam agama Islam, suri tauladan kita mengajarkan kepada kita untuk tidak bersikap individualis. Rasulallah Saw mengajarkan kepada kita pentingnya bersosialisasi dengan tetangga-tetangga kita. Al Qur’an juga menjelaskan untuk meng-copy sifat-sifat beliau, ya mau tidak mau harus kita kerjakan. Disaat ia disibukkan untuk menyebarkan islam, tidak melihat waktu siang ataupun malam, beliau masih menyempatkan waktu untuk bertamu ke rumah tetangga-tetangganya, sempat untuk menyapa orang-orang yang dilewatinya, sempat untuk bersikap ramah dengan lawan pembicaranya, sempat, beliau juga masih sempat hadir di dalam jamuan (undangan) seperti pernikahan. Dan selalu mendatangi rumah keluarga sahabat-sahabatnya yang mati di dalam peperangan.

Beliau mengajarkan kita untuk saling peduli, saling bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Dan beliau bersabda di dalam suatu hadits tentang baiknya kegiatan silaturrahim, karena banyak sekali pahalanya. Untuk sekedar mengucap salam “Assalamu’alaikum” pun kepada orang lain, pahala kita bertambah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline