Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui celah jendela kamar, membangunkanku perlahan. Hari yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba kami sekeluarga akan berlibur ke Pulau Pagang. Dari dapur terdengar suara Ibu, aroma roti panggang dan telur dadar menyeruak sampai ke kamarku. Aku bergegas mandi, lalu memilih pakaian terbaik yaitu kemeja pantai biru muda dan celana putih. Kupikir penampilanku sudah cukup keren untuk liburan.
Di ruang makan, semua sudah berkumpul. Papa sibuk membuka peta rute, Mama menata bekal ke dalam tas pendingin, dan abangku, Felix, asyik menggulir ponsel sambil mengunyah roti. Aku duduk di kursi kosong dan menyapa mereka penuh semangat, "Pagi semua! Siap liburan!" Kami sarapan ceria sambil membicarakan rencana snorkeling, berenang, dan mencicipi seafood di pulau nanti.
Suasana mendadak berubah ketika Felix meletakkan ponselnya, menatapku, lalu tersenyum sinis. "Dek, kok outfitmu hari ini... jelek kali, ya. Serius, macam mau ke pasar, bukan ke pulau," katanya sambil tertawa. Awalnya kupikir ia bercanda, tetapi tatapan matanya terlalu serius. Aku diam, pura-pura tak mendengar, meski dadaku terasa panas. Aku menyelesaikan sarapan dengan wajah datar.
Di mobil, aku duduk di kursi paling belakang, sendiri. Felix di depan bersama Papa, dan Mama di tengah. Biasanya kami bercanda sepanjang jalan, menyanyi, atau rebutan snack. Tapi pagi itu suasananya beku. Hanya suara mesin mobil dan musik radio yang mengisi keheningan. Mama dan Papa beberapa kali saling melirik, bingung melihat kami yang berubah.
Perjalanan menuju pelabuhan terasa lama. Aku menatap keluar jendela, menahan rasa kecewa. Bagiku, liburan ini harusnya momen bahagia. Tapi satu ejekan dari abangku menghancurkan semuanya. Aku tahu itu hal sepele, tetapi entah kenapa hatiku terlanjur sakit. Di kepalaku terus terulang kalimat itu"jelek kali"seolah harga diriku diremehkan.
Sampai di Pulau Pagang, pemandangannya sungguh indah: pasir putih, laut biru jernih, langit cerah tanpa awan. Namun hatiku tetap keruh. Saat semua bersiap snorkeling, aku memilih berenang di tepian bersama Papa. Felix, yang biasanya menemaniku bermain air, kali ini bermain sendiri di sisi lain. Kami seperti dua dunia terpisah, padahal hanya berjarak beberapa meter.
Setelah puas berenang, aku berjalan ke kamar mandi untuk bilas. Begitu selesai dan membuka pintu, ternyata Felix baru saja keluar dari bilik sebelah. Kami nyaris bertabrakan. Aku menatapnya sebentar, lalu tetap berjalan tanpa sepatah kata pun. Felix terlihat kaget, tapi ia juga diam. Hanya angin laut yang jadi saksi betapa dinginnya jarak kami.
Menjelang sore, Mama dan Papa tak tahan dengan suasana kaku itu. Mereka mengajak kami duduk di tikar di bawah pohon kelapa. "Kalian ini kenapa? Dari pagi diam-diaman saja. Liburan kok seperti bukan keluarga," kata Mama lembut tapi tegas. Papa menimpali, "Kalau kalian terus begini, bukan hanya suasana liburan yang rusak, tapi hubungan kalian juga."
Kami terdiam. Felix akhirnya angkat bicara duluan. "Maaf ya, Dek. Abang cuma bercanda soal outfit tadi. Nggak nyangka kamu jadi baper." Aku menunduk, lalu pelan-pelan berkata, "Aku juga minta maaf, Bang. Harusnya aku nggak diamkan abang seharian. Aku cuma... tersinggung." Kata-kata kami pelan, tetapi cukup untuk mencairkan kebekuan.
Dalam perjalanan pulang, suasana mobil kembali hangat. Aku duduk di samping Felix, dan kali ini kami berebut memilih lagu. Mama dan Papa tersenyum lega. Di tengah perjalanan, Papa berpesan, "Ingat ya, kalian itu saudara. Kadang bisa salah paham, tapi jangan sampai lupa saling minta maaf. Harga diri boleh dijaga, tapi hubungan keluarga harus lebih dijaga."
Aku menatap Felix dan kami saling tersenyum. Rasanya seperti membuka jendela yang lama tertutup udara segar kembali masuk. Liburan kami memang hanya sehari, tetapi pelajarannya terasa dalam hubungan yang retak bisa diperbaiki asal ada yang mau mengalah dan membuka hati.