Setiap Agustus, ketika merah putih berkibar di seluruh penjuru negeri, ada ritual yang selalu membekas dalam ingatan: layar bioskop dan televisi dipenuhi adegan Janur Kuning. Film ini pernah menjadi tontonan wajib setiap peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, bukan sekadar untuk hiburan, tetapi sebagai pengingat kolektif tentang perjuangan, keberanian, dan pengorbanan para pahlawan yang mendirikan bangsa. Menyaksikan kembali Janur Kuning di hari-hari seperti itu bukan hanya soal nostalgia; ia adalah pengalaman mendidik, mengingatkan generasi muda bahwa kemerdekaan bukan hadiah yang datang begitu saja, melainkan hasil dari tekad, strategi, dan pengorbanan yang luar biasa.
Di tengah arus hiburan modern yang dipenuhi film superhero, drama romantis, dan serial yang cepat berlalu, ada rasa kerinduan yang tak tergantikan terhadap film-film sejarah seperti Janur Kuning. Film-film ini bukan sekadar hiburan; mereka adalah cermin dari perjalanan panjang bangsa, lukisan heroik tentang keberanian, pengorbanan, dan tekad yang menuntun Indonesia menuju kemerdekaan. Menonton Janur Kuning bukan hanya soal menyaksikan peristiwa lampau, tetapi merasakan denyut nadi semangat para pejuang yang meletakkan fondasi karakter bangsa—keberanian menghadapi ketidakadilan, solidaritas dalam kesulitan, dan keyakinan bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, bisa mengubah arah sejarah.
Dalam setiap adegan yang menggambarkan strategi, peperangan, dan keberanian, film ini membangun rasa cinta tanah air sekaligus karakter bangsa—mengajarkan pentingnya keberanian menghadapi tantangan, kesetiaan pada nilai-nilai kemerdekaan, dan tanggung jawab bersama untuk mempertahankan identitas dan masa depan Indonesia. Kerinduan terhadap tontonan seperti ini adalah kerinduan terhadap jendela yang menengok masa lalu, sekaligus cermin bagi masa kini, mengingatkan bahwa karakter bangsa tumbuh dari sejarah yang dipelajari, dirasakan, dan dijadikan teladan.
Kerinduan ini lebih dari nostalgia. Ini adalah panggilan untuk generasi sekarang agar kembali mengenal dan meneladani nilai-nilai yang membentuk identitas kita sebagai bangsa. Di layar itu, setiap janur kuning yang berkibar, setiap langkah pasukan yang berani, dan setiap strategi yang dipikirkan dengan cermat, mengajarkan kita bahwa karakter bangsa tidak lahir begitu saja, tetapi dibentuk oleh keberanian untuk berdiri di hadapan tantangan, oleh kesetiaan pada nilai-nilai luhur, dan oleh tekad untuk mewujudkan mimpi kolektif. Dalam dunia yang serba cepat dan instan, film seperti ini menjadi oase—pengingat bahwa sejarah bukan sekadar catatan, tapi guru yang membimbing kita memahami siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita ingin melangkah.
Sekikar Tentang Film Janur Kuning
Janur Kuning adalah film drama sejarah Indonesia yang dirilis pada tahun 1980, disutradarai oleh Alam Rengga Surawidjaja. Film ini berfokus pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, sebuah momen penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dalam film ini, Letkol Soeharto memimpin pasukan Indonesia melawan tentara Belanda dalam serangan strategis yang bertujuan menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki kendali atas wilayahnya.
Salah satu hal yang membuat Janur Kuning menonjol adalah skala produksinya. Ribuan figuran dilibatkan, lengkap dengan kendaraan militer dan pesawat terbang, memberikan nuansa perang yang cukup nyata. Performa para aktor, seperti Kaharuddin Syah sebagai Letkol Soeharto, Deddy Sutomo sebagai Jenderal Sudirman, dan Sutopo H.S. sebagai Amir Murtono, menghadirkan sosok-sosok pahlawan dengan karakter yang kuat dan tegas, meski tetap dalam balutan narasi heroik khas era Orde Baru.
Namun, film ini bukan tanpa kontroversi. Banyak kritikus menilai bahwa Janur Kuning merupakan alat propaganda untuk membangun citra positif Soeharto, sehingga menutupi narasi sejarah lain yang lebih kompleks. Setelah jatuhnya Orde Baru, film ini sempat dinyatakan tidak lagi menjadi tontonan wajib karena dianggap manipulatif.
Meski begitu, dari perspektif sinematik, Janur Kuning tetap menarik. Setiap adegan perang, mulai dari strategi militer hingga interaksi para perwira, dibalut dengan musik dan sinematografi yang mendukung ketegangan, menciptakan pengalaman menonton yang intens. Bagi generasi muda, menonton film ini bisa menjadi jendela ke masa lalu, menghadirkan rasa bangga sekaligus refleksi kritis terhadap sejarah Indonesia.
Secara keseluruhan, Janur Kuning bukan hanya film tentang perang atau propaganda, tetapi juga pengingat tentang pengorbanan dan strategi perjuangan yang menentukan arah bangsa. Bagi penonton yang merindukan film sejarah Indonesia klasik, ini adalah pengalaman yang patut dicicipi—meskipun dengan kesadaran akan konteks politik yang melatarbelakanginya.