Lihat ke Halaman Asli

Pringadi Abdi Surya

TERVERIFIKASI

Pejalan kreatif

Pesan Toleransi dalam Novel 4 Musim Cinta

Diperbarui: 17 April 2022   19:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

4 Musim Cinta. Sumber: Dokpri

Sudah sekitar 8 tahun berlalu sejak novel 4 Musim Cinta terbit. Novel yang kami tulis berempat itu sebenarnya menyisipkan pesan-pesan toleransi di dalamnya, yang kebanyakan berangkat dari pengalaman pribadi yang kami alami. Mulai dari latar belakang keempat penulisnya yang berbeda suku, dan ada yang berbeda agama, hingga kisah di dalamnya.

Dalam proses penulisan itu, aku beneran ke Alor dan bertemu seorang pemuda bernama Osvo. Dia mendampingiku selama beberapa hari dan dalam waktu itu menceritakan banyak cerita, terutama ketika disintegrasi Timor Timur terjadi. Karena itu, pada bagian penulisanku, ia kutulis sebagai pembuka cerita.

Cahaya merambat turun dari surga. Kalabahi tidak dipeluk hujan pagi ini. Lalu lalang kendaraan belum cukup berarti. Misa paling cepat selesai pukul setengah sembilan nanti.

Baru kali ini aku berada di suatu tempat dengan penduduk mayoritas kristiani. Alor. 27 Desember. Suasana Natal masih tercium semerbak. Tak jauh beda dengan lebaran, penjual petasan memenuhi emperan jalan. Hiasan-hiasan natal yang didominasi warna merah dipasang di rumah-rumah.

Aku akan menoleransi bila pun Osvo telat datang menjemput kami di penginapan. Janji berangkat pukul sembilan untuk mengelilingi Alor biasanya bersifat karet. Bila misa selesai tepat waktu pun, ia pasti harus berbenah sembari menghubungi pihak travel. Tak sabar ingin kubuktikan ucapan Osvo, pria yang baru kukenal kemarin---pegawai honor di KPPN Fillial Alor. Katanya, dari pandangan mata, kita masih dapat melihat tanah air yang hilang dari Maritaing.

Disintegrasi Timor Timur adalah cerita masa lalu yang pedih bagi bangsa ini. Sebenarnya sejak 1989, Indonesia terus menerus mendapat tekanan dari asing. Kebangkrutan ekonomi alias krisis moneter menjadi momentum itu. Pihak Barat menjanjikan 43 miliar dollar asal Indonesia bersedia menyelanggarakan jajak pendapat. Siapa pun harusnya mengetahui, segala sesuatu yang diadakan atas dasar tekanan, diawasi oleh pihak-pihak yang memberikan tekanan, akan menghasilkan sesuatu yang penuh kepalsuan. Jajak pendapat itu hanya pengesahan untuk melepas Timor Timur. Rakyat yang pro integrasi pun berbondong-bondong mengungsi ke merah putih, meski ada upaya menghalang-halangi dari pihak pro disintegrasi. Alor menjadi salah satu tujuan pengungsian mengingat mereka masih satu bela. Pada tahun 2005, tercatat 981 keluarga, atau sekitar 3800 jiwa pengungsi tinggal dan hidup di Alor. Hingga kini.

Satu bela. Atau satu darah. Frasa itu begitu berkesan mengingat pada saat aku ke sana, masih dalam suasana Natal. Namun, tak sedikit pula masyarakat Alor yang memeluk agama Islam. Semuanya terjalin damai, dan menurut Osvo, perasaan satu darah itulah yang menyatukannya.

Ini juga membuatku mengingat cerita Abdur Arsyad mengenai kerusuhan pertama yang pernah meletus di Kupang pada tahun 1998. Konflik antaragama itu begitu pedih, dan ternyata usut diusut semua itu adalah ulah provokator, yang dibawakan dengan canda di Somasi, bahwa saat perusuh tertangkap, ia sama sekali tak bisa berbahasa Kupang.

Sejak saat itu tak ada lagi konflik. Ada kesadaran bahwa ada orang-orang yang berniat merusak keberagaman yang sudah ada. Yang biasanya berasal dari luar wilayah.

Dan lebih dari itu, toleransi sebenarnya sudah mengakar kuat di bumi pertiwi ini. Tak sekadar gimik. Dan betapa berharganya itu. Hanya, kita akan tahu betapa keberagaman itu sangat berharga ketika merasakan sendiri suasana pecah konflik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline