Kasus sengketa lahan yang menimpa Pak Mim, seorang pemilik tanah bersertifikat dari ATR/BPN, telah membuka kotak pandora mengenai penyalahgunaan itikad baik dan dugaan kriminalisasi yang terstruktur. Bermula dari toleransi Pak Mim yang mengizinkan sebagian tanahnya digunakan sebagai akses jalan dan parkir bagi usaha rental mobil milik tetangganya, Ibu Sahara, situasi ini justru berbalik 180 derajat. Ketika gangguan akibat operasional rental yang tak mengenal waktu mulai tak tertahankan, protes sah Pak Mim sebagai tuan tanah justru ditanggapi dengan apatisme oleh otoritas lingkungan (RT/RW) dan, yang lebih parah, dibalas dengan dugaan fitnah dan jebakan kriminal. Peristiwa ini menyoroti bagaimana hak kepemilikan mutlak dipertaruhkan demi kepentingan komersial sepihak, sebuah tindakan yang jelas-jelas menyudutkan pihak rental mobil dan para oknum yang terlibat.
1. Kekuatan Hukum Melawan Niat Penyerobotan
Secara hukum, kedudukan Pak Mim sangat kuat. Tanah yang terdaftar di ATR/BPN sejak 2019 merupakan bukti kepemilikan yang sah dan mutlak, dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA. Pemberian izin penggunaan sebagai jalan dan tempat parkir, bahkan jika disebut "diwakafkan" secara lisan, dalam konteks hukum tidak secara otomatis menghilangkan hak kepemilikan. Ini adalah izin pakai yang sewaktu-waktu dapat ditarik kembali jika menimbulkan kerugian. Tindakan Ibu Sahara memasang paving block dan memanfaatkan lahan secara penuh untuk keuntungan komersial (rental mobil) tanpa adanya kesepakatan tertulis mengenai pelepasan hak adalah langkah yang problematis.
Puncak dari skandal ini adalah kesimpulan bahwa pemilik rental ingin tanah Pak Mim dibebaskan dan dimasukkan ke dalam peta jalan kelurahan. Upaya mengubah status tanah pribadi menjadi jalan umum tanpa proses ganti rugi yang sah dan tanpa persetujuan mutlak dari pemilik adalah tindakan melawan hukum yang mengarah pada penyerobotan lahan. Pelaku dapat dijerat dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak. Niat untuk menguasai properti orang lain dengan memanipulasi administrasi kelurahan merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik.
2. Dugaan Pelanggaran UU ITE dan Fitnah Terencana
Upaya Pak Mim untuk menegur yang malah diviralkan sebagai "meneror pemilik rental" adalah bagian dari upaya pencemaran nama baik untuk membalikkan posisi. Namun, kejanggalan terbesar terletak pada dugaan pembuatan video dugaan pelecehan #Settingan yang terekam CCTV. Hal ini mengarah pada tindak pidana berlapis.
Pertama, penggunaan CCTV tanpa seizin Pak Mim dan penyebaran hasilnya melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), karena merekam aktivitas seseorang di properti pribadinya tanpa persetujuan merupakan pelanggaran privasi. Kedua, tuduhan palsu dan penyebaran video "settingan" tersebut jelas merupakan tindak pidana Fitnah dan Pencemaran Nama Baik, baik secara lisan maupun elektronik, sesuai Pasal 310 dan 311 KUHP serta Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE.
Kejanggalan berikutnya adalah surat edaran RT yang menuduh Pak Mim sering "tidak menggunakan busana pakaian" di depan rumah sendiri. Pertanyaan besar muncul: siapa objek lain yang merekam Pak Mim tanpa izin di area properti pribadinya? Fakta bahwa video pribadi tersebut dijadikan dasar untuk surat edaran yang bersifat memalukan memperkuat dugaan adanya konspirasi fitnah yang terstruktur, dengan tujuan mendiskreditkan Pak Mim agar ia menyerah atas tanahnya. Sikap RT/RW yang tidak menggubris protes, tapi sigap mengeluarkan surat edaran yang menyudutkan dan berujung pada pengusiran, menunjukkan adanya ketidakadilan dan dugaan keberpihakan yang wajib diusut tuntas oleh instansi hukum yang lebih tinggi.
3. Menjaga Etika dan Kebenaran Hukum di Atas Sentimen Suku
Kasus ini murni tentang penegakan hukum, perlindungan hak milik, dan pemberantasan fitnah. Tidak etis dan tidak berdasar secara hukum untuk membawa permasalahan ini ke ranah SARA. Netizen yang menghujat seluruh warga Madura dengan sebutan "hama" karena ulah individu adalah tindakan diskriminatif dan merusak etika kebangsaan.