Lihat ke Halaman Asli

Antara Wajah Bipolar atau Multipolar Politik dalam Pilpres 2019

Diperbarui: 4 Januari 2019   01:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: Everyday Health

Langit politik Indonesia kelam nian. Betapa tidak. Media sosial disesaki oleh pesan saling hujat antarpara pendukung. Lalu, jika peluru argumen akademis kian nihil, maka caci maki pun menjadi pilihan niscaya.

Pada situasi itulah kita kian mengerti bahwa peninggalan rejim Orde Baru memang tidak menghasilkan peradaban demokrasi, malah melahirkan sejenis keliaran dan perilaku banal.

Andaikan, rejim demokrasi tidak kuat menopang beban sejarahnya sendiri, maka bukan mustahil inilah saat paling fenomenal dari proses pemilihan Presiden yang paling uneducated. Caci maki, tipu daya, hoaks, semacam sebuah kenisacayaan peradaban.

Dikhawatirkan, jika pilar-pilar demokrasi berubah wajah menjadi sekat-sekat faksional, apalagi bila faksi-faksi ini berenergi saling meniadakan, maka mimpi menjadi Indonesia kian tipis, tetapi yang menebal ialah denasionalisasi yang kian meluas.

Memang, sejak pecahnya reformasi, energi kebinekaan yang terpendam dalam liang persembunyian begitu lama kini meletus liar tanpa kontrol peradaban bernegara yang kokoh. Pada masa lalu, rejim Orde Baru lupa, bahwa ekspresi perbedaan itu tak boleh dibendung, tetapi diatur agar unit-unit sosial tetap menjaga keunikannya melalui saluran ekspresional yang menumbuhkan peradaban.

Perhatikan, salah satu tanda paling menonjol dalam politik di Indonesia, terutama paska rejim otoritarian, ialah lahirnya partai-partai lapar, dan jamaknya jumlah aktor-aktor partai yang serakah. Jika pada rejim otoritarian jumlah partai dibatasi hanya tiga, maka pada era reformasi jumlah partai nyaris mirip jamur tumbuh di musim hujan.

Jika pada rejim otoritarian partisipasi massa diatur-atur, pada rejim reformasi partisipasi ditandai antara lain demonstrasi nan massif. Jika pada rejim otoritarian kritik sosial diatur penguasa, pada rejim reformasi kritik bebas nian meski mungkin substansi kritik asal berbeda dengan yang dikiritik untuk membedakan ciri kaum.

Karena itu, komplotan perkauman nyaris berulah melampaui wewenang Negara, pada saat bersamaan kuat terkesan Negara tunduk pada kelakuannya. Citra komplotan kaum serba menghujat dan menghasut terus menguat.

Menyebut sejumlah tokoh pembuat berisik misalnya, tak hanya serta merta memantulkan keberisikan politik, tetapi serentak dengan itu tingkah laku politik pun nyaris berseberangan dengan kekuatan-kekuatan sah Negara.

Jika pada rejim otoritarian kecenderungan demokrasi procedural melahirkan para supporter dan postur hubungan politik patron clien. Rejim reformasi politik anarkhisme beranak pinak dan cenderung chaos. 

Gejala ini muncul di sejumlah tempat, terutama Jakarta. Bahkan para suporter dungu kian liar, sambil mengusung tinggi-tinggi khas agama. Agama tidak lagi menjadi agenda sosial sebagai ekspresi relasi vertikal dengan Tuhan, tetapi agama diturunkan derajatnya menjadi instrumen vital untuk merebut kekuasaan nan fana dan dekil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline