Paska pembentukan koalisi tensi keberisikan mengalir ke mana-mana, hingga terjadi penolakan gerakan komplotan ganti presiden 2019 diusir di mana-mana. Ketegangan politik pun dinodai anasir SARA. Di level lokal pun sentimen etnik cenderung menajam. Maka Pilpres tidak lagi dibaca sebagai ajang adu kekuatan program pembangunan, adu proposal membangun peradaban, tetapi tampak sebagai adu olok-olokan yang berbasis reputasi individual pengekang kendali demokratisasi.
Pada gejalanya, politik Pilpres terkesan tak lebih dari ajang adu kebodohan. Meski prestasi dan reputasi actor politik tidak mengesankan sama sekali dan nyaris tidak verpesan membuahkan kesejahteraan rakyat, tetapi toh mereka (para pemberang itu) masih sanggup untuk tidak malu menyebut diri aktor pro demokrasi.
Tahun 2018-2019, jagat politik Indonesia menjadi ajang tarung partai lapar yang jelas-jelas diperalat oleh aktor partai serakah. Lalu dagang cap massif nian, sebagaimana pernah viral di berbagai media sosial uang beredar ratusan miliar yang diduga diterima dua partai politik.
Akibatnya, partai politik, bukan lagi sebagai lembaga meditory body of democracy, melainkan sejenis Comanditer Venonschapen (CV) atau Perseroan Terbatas (PT) di tangan para gelojo dan predator demokrasi itu.
Kisah dagang cap atau bisnis stempel partai sangat lumrah. Bayar partai dan partai gemar dibayar pun tampil ke publik tanpa merasa bersalah dan tak secuil pun terungkap rasa malu ke panggung publik. Mereka mendefinisikan diri sebagai politisi dan bayar membayar itu sebagai langkah politik.
Kelakuan mereka kemudian menjadi gossip wajar dari mulut ke mulut sampai juga di pondok penggembala sapi dan peternak unggas di kampung-kampung. Bayar membayar demi mendapat kuasa dianggap lumrah, wajar dan bahkan terkesan seperti bagian dari ajaran moral.
Rakyat di kampung tahu itu. Gejala itulah yang disebut ajang adu kebodohan, adu keserakahan. Sehingga mahar partai hingga mencapai miliaran rupiah dianggap wajar.
Sejarah Patah-patah
Transisi politik dari rejim otoritarian ke reformasi seperti mengalami sejarah patah-patah. Penanda yang paling sumir tampak melalui menjamurnya partai lapar tadi, dan menjamaknya jumlah aktor partai sangat serakah. Para aktor serakah ini memanfaatkan para supporter (useful idiot), karena para useful idiot menjadi topangan utama legitimasi politiknya. Para useful ideot itu cukup meneriakkan penanda identitas. Para actor cenderung mendelegitimasi politik etik.
Maka sempurnalah sudah politik di negara ini tidak lebih dari ajang baku tipu, baku fitnah dan bahkan mungkin baku pukul. Yang keluar kemudian ialah kesan barbarisme politik dibungkus baju prodemokrasi. Pada akibatnya sejarah kontinuitas nilai-nilai demokrasi mengalami patahan sejarah yang berkeping-keping.
Barbara Geddes dalam Politician's Dilemma (1994) melihat politisi selalu sebagai aktor yang memiliki kesanggupan untuk mengelola kepentingan publik secara rasional. Penempatan politisi bertindak rasional serupa itu persis menjadi unsur pembeda antara politisi dengan bandit.Â