Lihat ke Halaman Asli

"Melek" (Refleksi Terkini Kota Tua)

Diperbarui: 20 November 2017   23:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dalam hingar bingar dunia semakin tersisih, terkikis, terminimalisir terhadap kerlipnya lampu sebuah kota dingin Malang, Jawa Timur.

Tak menampik pula kasta-kasta tumbuh membabi-buta membumbung tinggi seakan tak berkuota.

Tumbuhnya persaingan antara warung kopi estetika hingga warung kopi harga kaki lima seakan mejadikan ideologi baru dalam peranan pejuang Strata kota tua.

Malang kumenyebutnya, kota tua dimana surga belanjanya para wanita dengan fashion ala kota Jakarta.

Malang kumenyebutnya, negeri pendidikan para perantau demi mencari secarik kertas tercantumnya sebuah instansi ternama.

Malang kumenyebutnya, deklarasi sebagai kota indah dan berwarna, Jodipan contohnya lalu di susul dengan kampung biru Arema.

Malang kumenyebutnya, kota romantis para remaja, anak muda, hingga lansia. Dingin yang menyatukan embun sebagai bukti romansa cinta kota tua.

Malang kumenyebutnya, pemuda/i apatis, indivisualis, hedonis apalagi kau menyebutnya, itu hanya sebagian isinya, namun keseluruhannya kota tua tetaplah bersahaja.

Malang kumenyebutnya, rumpun maupun acak kadul isinya relatif atas prespektif setiap pandangan mata manusianya.

Ahh... apa saja penamaanya kota tua tetaplah kota tua berisikan sebuah makna tanpa harus dicerca-certa, padat sejarah yang menjadikannya hidup dalam benak penghuninya.

Ahh Sudahlah...

Ini kotaku Malang namanya...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline