Lihat ke Halaman Asli

Petrus Kanisius

TERVERIFIKASI

Belajar Menulis

Anjloknya Harga Karet dan Jeritan para Petani

Diperbarui: 26 Oktober 2016   10:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menoreh getah (menyadap karet). Foto dok. Borneo news

Sudah bertahun-tahun jika dirunut semejak 3 hingga 4 tahun belakangan harga karet tidak pernah mengalami kenaikan harga lagi. Bahkan cenderung turun alias semakin anjlok. Fakta ini setidaknya meembuat petani semakin menjerit. Keadaan ini tentunya menjadi sebuah dilema sekaligus tangis derita para petani karet yang menggantungkan hidupnya dari hasil karet. Lalu, melihat persoalan ini siapa yang bertanggungjawab?

Sebuah tangis sekaligus derita bagi para petani, itu sudah pasti. Hasil karet menjadikan satu-satunya sumber penghidupan sehari-hari (jika boleh dikata, karet adalah nafas bagi mereka para petani). Mengingat harga karet di tingkat penampung di Kampung di Kalimantan hanya dihargai Rp 4.000-Rp 5.000 /1 kilogramnya. Jika di tingkat penampung tengkulak harga kisaran Rp 6.000-Rp 8.000 /1kilogram. Dan mungkin juga hal yang sama terjadi di tempat lain seperti di Sumatera.

Di kampung-kampung, desa ataupun di Kota sekalipun lebih khusus masyarakat di Kalimantan dan Sumatera para petani karet saat ini tidak bisa disangkal kian menjerit dan menderita dengan situasi keadaan. Benar saja, kebutuhan sehari dan biaya pendidikan menjadi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi saat ini. Boleh dikata, tidak boleh tidak harus dilakukan. Singkat kata, Tidak menoreh, tidak makan. Kurang lebih demikian gambarannya.

Kebutuhan sehari-hari sebagai penyambung nyawa, setiap hari setidaknya dapur harus ngebul, untuk membiayai makan dan minum. Beras, minyak makan, lauk pauk, gula kopi atau teh sudah pasti memerlukan rupiah (ongkos) Anak-anak mesti perlu biaya sekolah, pakaian dan jajan. Belum lagi diharuskan untuk membeli buku dan pena. 

Setidaknya dalam satu bulan kebutuhan masyarakat akan anggaran rumah tangga tidak kurang lebih dari Rp 100.000/ hari. Sedangkan pendapatan mereka perhari hitung-hitung kurang dari Rp 100 Ribu. Misalnya saja, sehari petani karet dapat menyadap karet (menoreh- istilah lokalnya) dengan hasil sadapan 20 kg karet, jika dikalikan dengan harga Rp 4.000 maka hasil yang didapat adalah Rp 80.000. 

Sudah pasti, mereka sudah minus (kurang) Rp 20.000 dalam biaya sehari-hari. Hal ini diperparah lagi dengan harga kebutuhan sehari (sembako) yang tanpa lelah untuk cenderung naik, tentu hal ini semakin mencekik dan menambah derita masyarakat. Tidak jarang pula para petani mencari hutang disana-sini untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari.

Derita lainnnya yang acap kali menimpa nasib para petani adalah tentang faktor cuaca. Bila musim penghujan tiba, hampir dipastikan para petani sulit untuk menoreh (menyadap karet) sebagai hasil. Sedangkan jika musim panas berkepanjangan, hasil sadapan karet (air karet) akan menyusut. Dua faktor ini pula yang terkadang penambah derita panjang dikala keperluan mendesak memaksakan namun berlawanan dengan keadaan cuaca yang sering kali tidak bersahabat.

Tidak hanya itu, derita dari para petani karet juga antara lain adalah bagi para petani yang menumpang menyadap di kebun yang relatif jauh dari rumah. Pengeluaran lebih sudah pasti harus dikeluarkan seperti pembiayaan transportasi berupa bensin untuk sepeda motor.

Lalu, Salah siapakah ini? Jujur, para petani tidak tahu menahu tentang harga karet yang tidak kunjung naik. Tentu hal ini menjadi tanggungjawab pemerintah, lebih khusus menteri Perdagangan. Dalam hal ini, setidaknya dari pihak terkait melihat tangis derita para petani karet untuk mencari solusi terbaik bagi mayoritas petani karet yang menggantungkan hidupnya dari hasil karet. Jika tidak, bukan tidak mungkin nafas para petani akan semakin tercekik dengan situasi harga yang tidak kunjung berpihak kepada mereka.

Suatu kekhawatiran, jika harga terus anjlok berdampak pula kepada nasib anak-anak para petani yang menempuh pendidikan dari tingkat yang paling bawah hingga perguruan tinggi dan sudah pasti biaya pendidikan tidaklah murah. Walau, dibeberapa tempat ada sekolah yang gratis, tetapi belum semua yang bisa gratis. Biaya pengeluaran dari hari ke hari pun semakin meningat karena kebutuhan dan harga barang yang tanpa lelah pula naik. Ironis memang, ditengah harga pasar terkait kebutuhan sembilan bahan pokok yang naik tetapi harga karet cenderung turun.

Sebagai pengingat, kebutuhan akan karet selalu ada tetapi petani karetnya menderita. Mungkin itu kata yang pas dari gambaran saat ini. Jika tidak ada petani karet, apakah karet (ban) akan selalu ada? Lalu pertanyaannya adalah mampukah pasar menampung dari hasil para petani dengan harga yang masuk akal dan mampu memberi dampak positif bagi masyarakat? Jawabannya mampu (bisa) asal ada kebijaksanaan dari pemerintah untuk melakukan kebijakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline