Lihat ke Halaman Asli

Pical Gadi

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

Pelukis Langit: Gadis Berambut Merah

Diperbarui: 31 Maret 2017   06:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gambar dari: kabarmakkah.com

Jika melukis di atas kanvas menggunakan imajinasi, cat, air, kuas dan hati, melukis langit cukup menggunakan imajinasi dan hati. Jika hati sedang dirundung sedih saat melukis, maka akan kubuat langit penuh awan-awan mendung, memuntir, menyaruk dan dan tersebar ke segala arah. Jika sebaliknya yang terjadi, aku akan membuat langit sebiru lautan, awan-awan seperti kapas lentur yang bisa dibentuk menjadi apa saja. Kelinci, permen lolipop, hati dan lainnya. Jika sedang marah aku akan memenuhi langit dengan awan-awan hitam dan cambuk-cambuk halilintar.

Jika bertemu lukisan pelukis langit lainnya, maka aku harus berbagi wilayah. Jadi tidak usah heran, jika separuh langit cerah ceria, separuh lagi berawan tipis, atau malah penuh awan mendung dan halilintar.

 Sayangnya kemampuan melukis langit hanya dimiliki oleh sedikit warga Ephamus, kota di atas awan, tempat kaum kami tinggal saat ini. Jumlah pelukis langit juga semakin menyusut pada setiap generasi. Dari ribuan jumlah warga Ephamus, setahuku tinggal belasan saja pelukis langit, termasuk aku dan ayah. Ya, bakat melukis langit itu turun temurun dalam keluargaku.

Tapi dua tahun yang lalu ayah wafat karena penyakit langka yang menggerogoti jantungnya sehingga saat ini aku menggantikannya di tahta sebagai pemimpin Ephamus. Memang sudah tradisi, hanya mereka yang memiliki darah pelukis langit yang dapat memimpin kota Ephamus.

Kami adalah kaum setengah dewa yang belum mendapat tempat di Olympus tempat dewa dan dewi tinggal dan mengabadikan diri mereka dengan puja-puji manusia. Kesempurnaan kami belum setingkat dewa tapi masih lebih tinggi dari manusia jelata. Kami bukan immortal tapi jauh lebih abadi dibanding manusia biasa.

Hanya saja ada masalah besar yang sedang melanda peradaban kami saat ini. Jumlah penghuni Ephamus terus berkurang. Yang mampu menyempurnakan ilmu dan semedi menjadi dewa akan berpindah ke kota Olympus, tetapi itu hanya sedikit jumlahnya. Dari seribu penghuni Ephamus, paling hanya dua atau tiga orang yang berhasil, mereka yang benar-benar gigih. Itu pun hanya terjadi beberapa puluh tahun sekali.

Lebih banyak yang memilih menjadi manusia biasa, kembali kepada kefanaan. Sekalipun tidak abadi, bumi memang penuh keindahan. Perasaan cinta sebagai manusia bertumbuh dengan alami, liar tapi penuh pesona. Egois tapi soliter. Tidak bisa disangkal inilah yang membunuh keabadian manusia sejak dulu kala. Manusia adalah pemuja eros, berbeda dengan kami yang sangat menjunjung tinggi agape.

Mereka yang turun ke bumi setelah matahari terbit akan luruh kesempurnaannya, menjadi manusia biasa. Ada semacam kutuk bagi warga Ephamus jika masih berada di bumi saat matahari telah bersinar.

Jadi warga Ephamus yang ingin menjelajahi bumi, turun pada saat malam gelap dengan atau tanpa purnama. Menjelang subuh mereka harus naik kembali ke atas Ephamus, atau kutuk kefanaan akan menimpa diri mereka. Kutuk ini berlaku bagi siapa saja, termasuk para pelukis langit sekalipun.

Jadi Ibu selalu mengingatkan hal tersebut. Di bahuku saat ini terletak tanggungjawab besar memimpin Ephamus dengan jujur dan adil. Dia tidak ingin aku tergoda untuk berpindah dunia ke dunia bawah, tanah para manusia.

**

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline