Lihat ke Halaman Asli

Perdhana Ari Sudewo

Pemulung Ilmu

Dilema Meritokrasi ASN: Sudah Nyaman, untuk Apa Lagi Berprestasi?

Diperbarui: 18 Mei 2025   13:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Yang penting aman, dapat gaji bulanan, mendapatkan nilai kinerja baik dan dapat angka kredit 100%, tidak dimutasi ke luar daerah, Cukup."

Kalimat semacam ini mungkin sudah tidak asing di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN), dan menjadi cerminan dari persoalan struktural dan kultural yang menghantui birokrasi kita. Fenomena menurunnya motivasi kerja ASN setelah mencapai target pribadi tertentu, seperti menduduki jabatan fungsional jenjang madya atau berhasil dimutasi ke kampung halaman menjadi gejala umum yang nyaris dianggap wajar. Sayangnya, situasi ini bukan sekadar pilihan pribadi, tetapi produk dari sistem birokrasi yang gagal menumbuhkan ruang tumbuh bagi pegawainya.

Tidak sedikit ASN yang memulai kariernya dengan semangat tinggi: ingin belajar, berkontribusi, dan membawa perubahan di tempat kerjanya. Namun, seiring waktu, arah motivasi tersebut sering bergeser mengikuti budaya yang telah terbentuk pada birokrasi tempat ASN bekerja. Banyak ASN yang memiliki "milestone" pribadi, seperti naik ke jenjang jabatan fungsional madya, mendapat tunjangan yang layak, atau ditempatkan di lokasi yang sesuai preferensi pribadi maupun keluarga. Ketika milestone itu tercapai, tak sedikit yang kemudian merasa "misi selesai". Bekerja menjadi rutinitas pemeliharaan status: asal tidak kena hukuman disiplin, tidak perlu bersusah payah mengejar prestasi baru.

Pada tahun 2021, Asian Development Bank pernah merilis laporan bahwa keterampilan dan kompetensi PNS di Indonesia secara umum dinyatakan masih rendah, atau belum sesuai dengan ekspektasi jika dibandingkan dengan level pendidikan yang dimiliki PNS. Indeks profesionalisme PNS juga berada pada level yang rendah. Dalam sebuah riset yang pernah dilakukan di salah satu Instansi Pemerintah, permasalah kinerja ASN tidak jauh-jauh dari kurangnya inisiatif dari para pegawai dalam meningkatkan kuantitas/jumlah hasil pekerjaannya, kurangnya kemampuan pegawai dalam penggunaan alat bantu pekerjaan, dan kurangnya komunikasi diantara sesama pegawai dalam melaksanakan atau menyelesaikan pekerjaan. Permasalahannya adalah dari data menunjukkan nilai atau penilain prestasi kerja PNS hampir semuanya masuk kategori baik, 10-20 persen amat baik, tetapi jika dilihat faktualnya dilapangan banyak komplain, entah dari masyarakat, stakeholder atau pimpinan instansi sebagaimana disampaikan Sekretaris Utama BKN pada kegiatan Pilot Project Manajemen Kinerja PNS. Ketidakcocokan antara nilai kinerja dengan fakta yang ada dilapangan merupakan permasalahan serius dan menghasilkan meritokrasi semu dalam manajemen ASN.

Psikologi Belajar: Ketika Lingkungan Sosial Membentuk Budaya "Asal Aman"

Dalam perspektif psikologi sosial, fenomena ini dapat dijelaskan melalui Social Learning Theory yang dikembangkan oleh Albert Bandura. ASN tidak hanya belajar melalui instruksi formal atau pelatihan teknis, tetapi lebih banyak melalui observasi terhadap rekan kerja dan konsekuensi perilaku yang mereka terima. Ketika seorang ASN melihat bahwa pegawai lain tetap mendapat angka kredit 100% meskipun tidak menunjukkan performa nyata, dan tidak pernah diberi sanksi atau evaluasi yang bermakna, maka terbentuklah pembelajaran sosial: "Ternyata cukup dengan hadir dan mengisi e-kinerja, semua aman."

Proses ini disebut vicarious reinforcement atau penguatan tidak langsung. Ketika pelanggaran ringan atau stagnasi kerja tidak diberi konsekuensi negatif, dan sebaliknya justru dinormalisasi, maka individu akan meniru perilaku tersebut. Ini bukan bentuk kemalasan murni, tapi hasil dari sistem pembelajaran sosial yang menyimpang. Dalam waktu yang tidak lama, perilaku ini direplikasi secara luas dan akhirnya diinternalisasi sebagai nilai bersama dalam organisasi. Lama-kelamaan, budaya organisasi pun terbentuk: kinerja tidak lagi dihargai melalui hasil dan dampak nyata, tetapi diukur dari kepatuhan administratif dan kemampuan bertahan dalam sistem.

Selain itu, salah satu dimensi yang tak bisa diabaikan adalah pengaruh nilai budaya lokal. Tata sistem nilai budaya dan masyarakat, seperti rukun, kumpul keluarga, dan hidup selaras dengan lingkungan sosial secara tidak langsung ikut berpengaruh dalam budaya kinerja ASN. Dalam banyak kasus, ASN yang sudah berhasil kembali ke kampung halaman atau tinggal di kota yang diidamkan, merasa hidupnya telah cukup. Keinginan untuk berkinerja lebih dan mendapatkan promosi justru cenderung berkurang karena konsekuensinya adalah kemungkinan dipindah ke tempat lain yang jauh dari keluarga.

Di titik inilah reformasi birokrasi berbasis meritokrasi menghadapi dilema mendasar. Meritokrasi mendorong mobilitas, kompetisi sehat, dan promosi berbasis kinerja. Tapi jika nilai-nilai sosial dan sistem insentif tidak diselaraskan, maka meritokrasi hanya menjadi slogan. Fakta bahwa jabatan fungsional jenjang ahli madya seringkali menjadi "terminal akhir" karena pejabatnya enggan naik atau tidak mau membuka ruang formasi untuk generasi di bawahnya, memperkuat pola ini. Untuk promosi ke jenjang ahli utama yang biasanya menyaratkan ASN harus berpindah ke unit pusat, menjadi masalah lain yang tidak menjadi prioritas untuk diperjuangkan. Jadi, alih-alih berkinerja lebih, bekerja seadanya yang penting memenuhi ekspektasi kinerja dirasa cukup di tengah perasaan "ewuh pekewuh" pejabat penilaian kinerja yang akan berfikir dua bahkan tiga kali untuk memberikan nilai dibawah ekspektasi.

Dampak: Sistem yang Stagnan dan Regenerasi yang Tersumbat

Apa yang terjadi ketika pegawai yang merasa sudah cukup tidak lagi ingin berkembang? Regenerasi macet. ASN dengan jenjang dibawah, meskipun lebih inovatif, lebih berkinerja, dan lebih siap mengambil tanggung jawab baru, tidak memiliki ruang promosi karena formasi jabatan sudah penuh oleh pegawai yang tidak ingin naik, tapi juga tidak mau turun. Selain itu, ketika sistem angka kredit dikonversi dari kinerja formal tanpa verifikasi kualitas, maka motivasi ASN bergeser: bukan lagi mengejar hasil terbaik, tapi mengejar nilai administratif terbaik. Di sinilah meritokrasi berubah menjadi manajemen "asal tidak salah", bukan manajemen berbasis kontribusi, kinerja, maupun kompetensi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline