Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com

Manipulatif dan Kita

Diperbarui: 26 Agustus 2018   09:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Manipulasi dan kehidupan kita nampaknya tidak jauh-jauh amat, bahkan saling berkelindan, ironisnya kini menjadi seolah matapencaharian dan lahan keuntungan pihak-pihak tamak tertentu. 

Ada dua kisah dalam bidang agama yang memanfaatkan celah manipulatif ini, di seminari dan pesantren, jadi tidak perlu sensi dan marah soal bias agama.

Kisah pertama, ada "surat" yang ditulis rapi, jelas cewek, di tempel di gerbang sebuah seminari dengan kalimat, sepanjang ingatan saja, "Terima kasih Bunda Maria atas bantuan doamu, aku jadi tahu pria macam apa yang ada di sana. Lupa persisnya, tapi bahwa ada kekecewaan atas apa yang terjadi di antara mereka tentunya.

Kisah kedua, baru saja, seolah guru pesantren menikahi santrinya tanpa sepengtahuan pengurus ponpes dan orang tua si gadis. 

Apa yang dinyatakan ketika melamar adalah, jodohmu usia 60 kalau menolak. "Kekuasaan" dan "posisi" yang membuat si gadis "takut" dan jerih.

Kisah itu sebenarnya melengkapi banyak manipulatif lain, bagaiman pilot ganteng, tentara cakep, atau polisi macho bisa memperdayai luar dalam banyak pihak. 

Ada yang lucu, mengaku polisi tetapi jelas saja bohong, ketika tanda pangkat ada pada pundak sekaligus kerah baju, yang menandakan tidak mungkin polisi asli jika demikian. Toh ada yang ketipu juga. Mengapa hal tersebut seolah terulang?

Pertama, cara pandang, apalagi kalau berkaitan dengan tokoh agama, apapun agamanya, sering terjadi tindak manipulatif dan jatuh korban baik materi, nama baik, dan kadang kesucian. 

Melihat pemuka agama sebagai seperti "calo" surga saja, sehingga dekat, apalagi bisa akrab dengan mereka jaminan surga, padahal jelas tidak demikian. Ada kadang  ketakutan yang dirasakan karena ancaman nanti tidak  masuk surga.

Kedua, kekaguman yang sangat terbatas dan itu dimaknai sebagai segalanya. Dalam kasus keagamaan, pemimpin agama jelas dia tokoh, namun apakah dalam ranah lain juga demikian? 

Pun dalam diri si gagah, tampan, atau macho tersebut mungkin saja seragamnya bagus, rupawan, dan menjanjikan, dan nyatanya tidak demikian bukan? Kesempitan dalam menilai kepribadian masih menjadi masalah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline