Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com

Di Antara Prabowo-Anies, Prabowo-AHY, atau Anies-AHY

Diperbarui: 8 Juli 2018   09:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

nasional.kompas.com

Prabowo-Anies, Prabowo-AHY, atau Anies-AHY, masih sangat mungkin, meski waktu sudah sangat mendesak, namun belum ada titik temu dan titik terang. Semua masih berkutat pada kepentingan dan keingininan jangka pendek ataupun panjang. Partai pengusung dan pendukung pun mempunyai kepentingan masing-masing dan nampaknya susah menemukan titik temu yang sama-sama menguntungkan.

Prabowo-Anies, sangat mungkin dan terbuka dengan minus Demokrat nampaknya. Posisi koalisi yang sangat mungkin Gerindra, PAN, dan PKS masih cukup terbuka dan mungkin. Masalah pada PKS dan PAN yang tentu saja menunggu mau dapat apa, padahal tentu banyak yang paham kalau mereka pun ngebet posisi RI-2. PKS dengan sembilan nama, PAN pun empat nama bahkan capres bukan semata wapres. Sangat rumit, meskipun bisa saja.

Prabowo-AHY, sangat terbuka  ketika Demokrat mau memaksakan kehendak berkoalisi, mereka berdua pun bisa. Soal suara bisa menjadi jaminan majunya dua nama. Masalah adalah apa iya, dua militer bersama dan bisa diterima pemilih. Sangat mungkin pemilih pergi karena sentimen negatif dunia militer berpolitik masih cukup kuat. Ingat keduanya, jika satu saja masih bisa diterima, ingat SBY, pun Prabowo, Wiranto, pun pernah berkontestasi, bahkan SBY bisa menang dua periode.

Namun dengan dua nama menjadi satu, sangat riskan, pengalaman mereka juga masih sangat meragukan. Pasukan dan pemerintahan serta birokrasi beda jauh. Mereka berdua, sama-sama hanya berpengalaman dalam sistem komando yang dari atas ke bawah tanpa ada bantahan dan semua berjalan apa yang dikatakan komandan. Birokrasi dan pemerintahan berbeda jauh. Keduanya bukan saling mengisi, malah saling melemahkan.

Gerindra sangat rugi jika mengandeng AHY. Periode depan Demokrat yang akan makin berkembang, sedang Gerindra akan tersingkir, apalagi posisi Prabowo yang makin tua dan saatnya mundur dari panggung utama. Hal ini juga tidak boleh dilupakan Gerindra, posisi bukan hanya untuk sekali dan hilang dari peredaran.

Anies-AHY, atau dibalik, yang jelas duet mereka berdua. Sangat baik dari sisi darah muda. Namun sangat riskan karena orang atau pemilih melihat mereka dari sisi kegagalan di tengah jalannya. Belum ada bukti signifikan dari mereka berdua sukses di dalam memimpin organisasi dengan taraf nasional. Anies di kementrian berujung resufle, meskipun Presiden Jokowi tidak pernah menyatakan alasannya, dan dugaan demi dugaan toh arahnya yang tidak positif.

AHY pun setali tiga uang. Memang bukan pemecatan, namun mundur dengan usia dan pangkat yang masih sangat hijau.  Susah meyakinkan pemilih dengan pilkada DKI pun tidak bisa berbicara banyak. Mengenalkan sosok AHY memang sukses di pilada DKI. Dan di sinilah jika semata memperkenalkan bolehlah, namun jika gubernur saja tidak signifikan apa iya pentas nasional bisa lebih banyak bicara? Susah untuk meyakini dengan rekam jejak yang minim demikian.

Posisi Gubernur Anies pun bukan menjual. Kontroversi demi kontroversi memang sukses menjadikannya bahan perbicangan di dunia maya, namun apa ya cukup jika berbicara kancah nasional dan itu dunia real yang belum tentu linier dengan ketenaran dari trending topic. Jika mengandalkan modal kapital media sosial dan dunia maya, jangan harap.

Kinerjanya sebagai gubernur tidak menjanjikan. Namanya masih saja seperti itu, artinya memerlukan cara lain, mesin partai, partai mana yang mau bekerja coba. Jika Gerindra malah potensi kehilangan di masa datang, Demokrat pun tidak akan getol jika melihat posisi AHY yang tidak cukup menguntungkan, apalagi Anies tidak memiliki partai yang pernah ia geluti atau partai yang menaunginya. Susah melihat posisi ini bisa berbicaa lebih jauh.

Partai politik perlu juga melihat kepentingan ke depan, bukan hanya soal pilpres dan usai. Apa iya partai sekali berkuasa kemudian masuk sejarah? Jika tidak hati-hati akan demikian.  kemenangan dan kursi itu penting, namun posisi kader untuk menjadi apa juga lebih penting. Penghargaan atas prestasi itu adalah kursi dan jabatan, bisa eksekutif ataupun legeslatif. Dan nampaknya, banyak partai yang abai untuk mengusung kader karena takut kalah.

Politik takut kalah dan enggan berproses sering membuat partai politik seenaknya mengusung atau mendukung siapapun yang potensial menang. Hal ini lagi-lagi soal kemalasan kaderisasi partai politik. Parpol nyaman dengan pola potong kompas, mendukung yang populer atau tenar meskipun itu  tenar karena cemar bukan prestasi. Miris sebenarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline