Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com

Banyakan Notifmu Mewarnai Medsos Pihak Lain, atau Sebaliknya?

Diperbarui: 10 April 2018   05:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Banyakan notifmu mewarnai medsos orang lain atau sebaliknya, pun status dan sejenisnya?  Beberapa hari lalu, banyak berseliwera berita di lingkungan rumah, si itu kena rayu pemeriksaan sekian ratus ribu, si itu kena sekian puluh ribu, dan seterusnya. Heboh dan jengkel pokoknya. Suatu siang ada dua gadis sangat belia, mendatangi rumah dan langsung nyerocos banyak banget.

Penolakan dengan mengatakan alat kesehatan sudah ada, hampir tidak mempan, ia makin banyak bicara dan terkesan mendesak. Saya berpikir anak-anak yang kelihatan baru lulus sekolah menengah itu mendapatkan pelatihan untuk "menjual" produknya ini. langsung singkat, tidak memberi kesempatan mengatakan, tidak terima kasih.

Kita, sangat jarang yang tidak hidup dengan dunia media sosial, entah apa judul dan namanya. Mau FB, WA, BB, Twiter, dan banyak lagi yang sering namanya pun tidak tahu, atau bisa juga e-mail. Apakah kita menjadi kecanduan, sehingga sebentar-sebentar melihat layar, ada notif masuk  tidak? Atau sebentar-sebentar membuat sesuatu untuk dibagikan. Bisa ide sendiri, mengirim ke mana, berupa gambar, film, atau kalimat, kadang hanya lambang atau simbol, smile,coba bayangkan jika membuat buku mungkin sudah jadi satu kontainer, jika semua SMS, emali, status dan sebagainya disatukan.

Apa kaitan media sosial dan media komunikasi dan si para "penjual" jasa pemeriksaan kesehatan itu? Mereka dan kita yang bermedia, sedang menekan tombol keluar. Mengeluarkan apa yang ada di dalam diri kita dan petugas itu, mengeluarkan apa yang  harus diterima orang dengan berbagai penerimaan, dengan tidak peduli, orang lain suka atau tidak. Semua pokonya dikeluarkan.

Apakah tidak ada tombol masuk? Ada, kesediaan mendengarkan. Mendengarkan bukan sekadar mendengar. Dengan mendengar saja, kita, dalam detik yang sama telinga kita bisa mendengar deru mesin motor, mobil yang berseliweran, suara tangis bocah, dan tawa orang tua, atau lengkingan teriak istri yang ngamuk uang belanjanya dibuat judi suaminya. Semua mampu kita terima, tapi adakah yang memang sengaja kita dengarkan?

Semua bisa masuk begitu saja, namun adakah makna, adakah peran kita memang mau sunguh-sungguh mendengarkan? Dan memberikan perhatian secara penuh atas apa yang kita dengarkan tadi?  Tentu saja tidak. Kita hanya mendengar, dan lewat begitu saja.

Kesibukan, apalagi dengan berkembang demikian pesatnya media sosial dan teknologi informasi, kita enggan memberikan waktu untuk mendengarkan. Apa yang kita peroleh dengan mendengarkan?

Pertama, memperoleh relasi yang lebih luas dan mendalam. Tidak sekadar namun mendalam karena ada empati dan kemauan mengerti. Tidak semata mengenal nama, ha ha hi hi,..menyentuh ranah rasa, hati, dan kedalaman.

Kedua, kesiapsediaan untuk menjadi curahan  tanpa mau mengeintervensi, menggurui, dan mencela, ataupun menyela. Sikap yang tidak mudah karena kebiasaan sebaliknya. Sikap yang sangat banyak dibutuhkan, seperti bahu bidang pemuda yang menerima tangisan gadis yang ditinggal kekasihnya.

Ketiga, memberikan pembelajaran bagi kedua belah pihak. Ingat keduanya, sama-sama berkembang. Jika mendengar saja, ada yang merasa menjadi korban dan ada yang menjadi penindasnya. Tidak demikian bagi pribadi yang menyediakan diri untuk mendengarkan.

Keempat, tidak ada yang dirugikan dan tidak ada yang diuntungkan. Hal ini bukan masalah untung rugi, namun soal hati yang sama-sama untung. Sikap yang tentu tidak populer di dalam keadaan yang makin materialistis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline