Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com

Reformasi hingga Revolusi Mental, dari Habibie kini Jokowi

Diperbarui: 22 April 2017   23:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sigit 22 April 2017 07:56:04 Kembali kepekerjaan yang belum terlaksana dengan baik, revolusi mental. Gaungnya masih lemah Mas Susy. Salam pagi

 Selengkapnya : Melepas Tanggung Jawab Dinilai Wajar

Menarik apa yang Kompasianer Sigit nyatakan dalam komentar di atas, soal revolusi mental yang masih susah dilihat hasilnya. Berkenaan dengan hal tersebut jadi ingat dua kejadian kecil sehari-hari. Dua orang yang bertolak belakang profilnya, namun justru berbanding terbalik pola pikirnya.

Kisah pertama, ibu rumah tangga yang dulunya karyawati koperasi, suaminya pegawai BUMN, dan kini keduanya sudah purna. Pendidikan cukuplah, suaminya sarjana, anak-anaknya juga sarjana. Bulan ini tarif listrik naik drastis, apa komentarnya,”Listrik mahalnya minta ampun, naik terus, gara-gara, J*****jadi.....” tetangga tertawa karena biasa listrik tidak bayar, karena di PLN suaminya.

Kisah kedua, seorang kepala keluarga muda, nelayan rawa, pendidikan sekolah dasar, merantau pun hanya ke kebun kopi di Sumatera. Anak-anak masih kecil. Ketika tetangganya mengatakan harga-harga naik, ia menjawab, “Kalian sudah enak puluhan tahun, baru ngerasakan saudaramu yang di Papua, Sumatera, baru kali ini merasakan semurah yang kalian katakan mahal itu...”Ia paham bahwa “mahal” harga di sini saat ini karena untuk membuat harga di luar Jawa tidak setinggi waktu lalu.

Berkaitan dengan komentar di atas. Soal Revolusi Mental, ada apa, seolah tidak terdengar gaungnya, tidak terasa manfaatnya, atau sudah ada, namun tidak kerasa karena saking banyaknya masalah? Satu yang pasti, kepentingan terlalu banyak berbicara.

Kereta api, kesehatan dalam arti birokrasi tidak lagi berbelit, jaminan kesehatan dengan JKN, jalanan dan infrastruktur yang sudah terlihat, dan masih banyak lagi. Namun, suka atau tidak, masih banyak pekerjaan rumah yang menumpuk. Birokrat yang malas, tabiat potong kompas dan suap, pungli meski ada saber pungli, korupsi meski ada KPK, dan sejenisnya.

Pihak yang terganggu kepentingannya.

Menarik apa yang menjadi dalih PDI-P soal kekalahan di pilkada Jakarta, mereka mengatakan soal birokrasi. Jelas mereka malas memilih pimpinan yang tidak membawa keuntungan bagi mereka, (terutama yang senior, yang sudah menghabiskan banyak dana selama ini). Teror bagi  birokrat tidak hanya di Jakarta. Bagaimana mereka naik posisi itu pakai amplop, kini ketika saatnya menerima ganti dicegah, siapa yang mau coba? Ini jelas penghambat. Yang seneng kan masyarakat banyak dan yang selama ini dirugikan, tapi kita-kita ini tidak punya kuasa membuat warna.

Tabiat dan karakter potong kompas dan aturannya tanpa aturan.

Pihak-pihak yang enggan susah membuat revolusi mental, mental e berbeda entah ke mana, ke laut  mereka tentu lebih suka. Ini termasuk masyarakat, coba diminta ngurus surat-surat, lebih enak bayar daripada antri yang memang kadang inefisien. Kredonya, enakan dulu, semua gampang. Gampang karena menggunakan uang dan suap sebagai jalan singkat. Tapi apa demikian tidak ada yang dirugikan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline